Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ditampar oleh Tulisan Radhar Panca Dahana

27 Desember 2023   21:57 Diperbarui: 27 Desember 2023   22:45 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh pemandangan yang begitu nelangsa. Tetapi, aku tega mencatat kisah-kisahnya dengan segala keluh kesahnya. Aku tega menjual kenelangsaan ini kepada ruang redaksi. Sesaat pula aku menjadi tega mengisahkannya dalam sebuah laporan singkat lewat telepon yang dipancarluaskan melalui gelombang radio. Oh, betapa kejam nian. Aku telah menempatkan kenelangsaan itu sebagai barang dagangan. Mengejar apa yang dinamakan sebagai karir dari seorang juru warta. Menggapai apa yang dianggap sebagai profesionalitas, yang ujung-ujungnya popularitas dan ah... duit!

Memang, mula-mula aku pikir apa yang ada di hadapanku kala itu adalah peristiwa yang harus disebarluaskan dengan alasan demi kemanusiaan. Tetapi, apakah ini kemanusiaan namanya jika apa yang aku beritakan ternyata hanya menjadi barang dagangan? Sedang berita itu tak cukup menolongnya dan mampu mengangkatnya dari penderitaan. Atau, berita itu hanya menjadi bagian cara-cara untuk semakin memperlemah dan memiskinkan mental orang-orang di luar sana. Menjebak mereka untuk memasuki lorong gelap tanpa cahaya. Kehilangan daya hidup. Tak tahu lagi arah tujuan. Hidup bagi mereka semacam bangunan tua di tengah keramaian kota. Bangunan yang dihuni hantu-hantu. Menyeramkan!

Dalam kecemasan mereka, hantu-hantu itu seolah terus mengintai mereka dan bersiap menyergap setiap saat. Lalu, muncul dalam pikiran mereka, gambaran yang sangat menakutkan. Mereka diterkam lalu dibawa ke alam lain. Di alam itu, mereka hanya dijadikan mainan. Oh! Perasaan apa ini? Semua menjadi serba menegangkan.

Jika demikian, apakah tak ada ruang di muka bumi ini yang menghadirkan kebagahiaan, kedamaian, kenyamanan, dan ketenteraman? Tentu ada. Tetapi, dimana? Mengapa ruang itu sepertinya tersembunyi dan sulit ditemukan? Ataukah ini memang sebagai bagian dari dunia permainan media? Lalu, apa sebenarnya yang dikehendaki dari berita-berita itu? Fakta atau teror?

Di sinilah kemudian aku berpikir. Jika memang teror itu menjadi produk olahan media lewat bahasa dan citra yang dihadirkan, maka bukan tidak mungkin bahwa ketakutan yang dirasakan oleh banyak orang tiada lain adalah hasil yang hendak dicapai. Bukan sekadar dampak. Sebab, teror yang demikian telah diproduksi secara mekanis dan terolah dengan canggih. Mula-mula ia hadir sebagai sensasi. Tampak lezat, tampak menyenangkan dan seolah penuh kesegaran. Aku menggambarkannya seperti sambal terasi yang bertengger di atas cobek. Menggiurkan. Rasa pedasnya menjadi sensasi yang sungguh sangat menggiurkan. Bahkan mampu meningkatkan selera makan ketika itu. Tetapi, sehabis semuanya dilahap, tinggal rasa sensasi itu membuahkan derita pada organ cerna. Bisa saja kena diare, mungkin juga radang usus, atau bahkan sampai pada penyakit-penyakit pencernaan lain yang dampaknya sangat membahayakan bagi keselamatan jiwa.

Ya... ya... ya! Akhirnya aku menemukan sedikit titik terang sekarang. Kegelisahan Dahana adalah kegelisahan yang mestinya tak ia rasakan sendiri. Kegelisahan ini mestinya menjadi kegelisahan bersama, agar semua yang tergelisahkan segera mampu mencapai pada sebuah pilihan-pilihan logis yang tepat. Kemudian, diformulasikan ke dalam upaya bersama mengubah paradigma jurnalisme.

Jurnalisme mestinya memihak pada usaha untuk membangkitkan gairah hidup, meningkatkan vitalitas dan daya hidup. Bukan sebaliknya. Sekadar medan tempur yang hanya memampang nasib orang-orang yang dikalahkan oleh keadaan. Sehingga, tampak seolah-olah jurnalisme kehilangan semangat cinta. Oh!

Butuh rasa yang mendalam. Tidak sekadar slogan. Atau sebatas bahasa iklan.

Tetapi, bagaimanapun, aku salut dan menaruh hormat pada pengalaman Dahana, seorang budayawan yang tangguh ini. Pemihakannya pada rasa sudah pasti tidak tiba-tiba datang. Pemihakan itu sudah pasti melalui proses panjang. Mungkin pula mengikutsertakan potensi alam bawah sadarnya yang memompakan kenangan masa lalu yang terbiasa memasuki gua-gua pertapaan yang ia bangun sendiri dalam sanubarinya. Terbangun pula kesetiaannya pada darma. Kesetiaan ini sendiri sudah barang tentu merupakan keistimewaan yang diberikan Tuhan kepadanya. Menjadi berkah baginya dan juga lingkungan sekitarnya. Ah, betapa aku cemburu sekarang.

Perjalananku tak sedahsyat dia. Sampai-sampai aku berpikir, Tuhan teramat menyayanginya daripada aku. Entahlah mengapa ia mampu menentukan pilihan dan sanggup menerima segala konsekuensi. Sementara aku memilih jalan aman. Ya, aku membaca tanda-tanda keistimewaan itu. Dan aku iri.

Mengapa iri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun