Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebatang Pohon Tua

31 Oktober 2023   01:28 Diperbarui: 31 Oktober 2023   17:31 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar (sumber rekayasa digital oleh Ribut Achwandi)

Seperti awan mendung, kabar buruk itu begitu cepat disebarkan angin ke seluruh tanah Jawa. Memalutkan duka mendalam bagi para pengikut setia sang putra mahkota Mataram yang memilih keluar dari istana dan melawan VOC. Mereka gusar. Hilang kendali. Hilang arah. Lalu, saling beradu pandang dan menyimpan pertanya yang sama. Apakah perang masih akan dilanjutkan?

Belum sempat pertanyaan itu terjawab, kabar serbuan serdadu VOC ke seluruh pelosok Jawa menyusul. Memburu mereka. Melumpuhkan kekuatan laskar-laskar Jawa. Siapapun mereka, begitu tertangkap, langsung didor. Tak ada ampun!

Dengan lagak berkuasa, serdadu-serdadu itu memasuki desa-desa. Mengobrak-abrik isi rumah-rumah warga. Memaksa mereka buka suara tentang keberadaan laskar-laskar Jawa. Mereka tak segan menarik pelatuk senapan, hingga terlontar biji peluru, tembus di dada warga. Sontak, suara tangis melengking, memuncak di udara. Menghamburlah aroma kematian berbuah ketakutan yang teramat.

Perempuan-perempuan desa tak luput dari incaran. Beringas mereka mencabuli perempuan-perempuan itu. Tak peduli apakah bersuami atau gadis. Di hadapan banyak orang, di halaman rumah, mereka merenggut kehormatan perempuan-perempuan desa itu.

Pun harta milik warga desa. Mereka gasak, mereka rampas. Apapun itu. Setidaknya, cukuplah bagi mereka sebagai sarana berpesta saat malam selepas menjalankan tugas.

Benar-benar, sebuah aksi balas dendam yang membabi buta atas kerugian besar yang mereka tanggung. Bangkas-brangkas kekayaan mereka terkuras. Seluruh pendanaan hanya demi membendung kekuatan laskar Jawa. Membiayai perbaikan area-area perkebunan milik saudagar-saudagar Eropa yang rusak. Sementara, di pusat-pusat perniagaan Jawa pemasukan yang mereka terima tak ubahnya aliran sungai kering di musim kemarau panjang.

“Keadaan semakin buruk. Kita tak bisa tinggal diam, Kangmas,” ucap lirih Ki Ridong pada sepenggal malam di pesanggrahan Ki Ageng Wanenpati.

Baca juga: Senopati Noyontoko

Gugatan itu tak segera dibalas. Ki Ageng Wanenpati menghela napas. Seolah-olah ada sesuatu menindih di dadanya. Walau bagaimanapun, ia mengakui, kata-kata Ki Ridong benar. Akan tetapi, untuk melawan, rasa-rasanya terlalu berat. Berderet masalah ia timbang. Berbagai kemungkinan ia hitung.

Ki Ridong terbungkam oleh sikap diam Ki Ageng Wanenpati. Ia menunggu.

Perlahan, Ki Ageng Wanenpati mulai mengangkat dagu. Lalu, menengok ke arah Ki Ridong. Sebentar ia tatap wajah sahabatnya itu. Sebentar kemudian, ia menunduk. Kemudian ia mengarahkan pandangannya ke langit yang diliputi gelap. Ingatannya terlontar ke masa lampau yang jauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun