Makanya, ia segera mencari tahu bagaimana cara melayani penumpang-penumpang yang bawel itu. Ya, penumpang-penumpang yang suka bikin masalah.
Mungkin sebuah kebetulan yang beralasan, awak kapal yang satu ini memang memiliki kebiasaan membaca buku yang terjaga. Biasanya, ia akan menyempatkan diri untuk membaca, mungkin hanya satu atau dua halaman dari buku bacaannya itu, di sela-sela waktu istirahatnya.Â
Terutama saat ia tinggal di kapal untuk beberapa lama. Ia paling suka membaca karya-karya filsafat, selebihnya ia membaca novel. Dan, di setiap buku-bukunya selalu terselip kertas pembatas yang menandai halaman yang sedang ia baca. Kertas itu putih dan bertulis, 'Kata adalah senjata paling ampuh. Ia bisa membuatmu tunduk atau bahkan binasa.'
Kini, saat ia harus berhadapan dengan orang-orang bawel itu, ia tahu bagaimana harus bersikap. Ia harus mampu tampil memukau, walau hanya lewat kata-kata.Â
Sebab, kata-kata ibarat mantra yang mampu menyihir siapa saja untuk tunduk atau tanpa sadar untuk menjadi binasa. Begitu pula saat ia menghadapi situasi yang serba menegangkan itu. Ia merasa telah melakukan sesutu yang baik walau mungkin tidak selamanya baik itu benar. Setidaknya, ia telah membuat suasana menjadi terkendali tanpa ada kekacauan.
Sementara para penumpang menjadi tenang, di ruang kemudi kapal, sang nakhoda justru tampak gelisah. Tangannya yang masih menggenggam teropong tampak bergetar. Tatapan matanya yang biasanya menunjukkan sikap percaya diri yang tinggi dan berwibawa berangsur pudar.Â
Seolah-olah ia tengah berhadapan dengan sesuatu yang mengerikan. Sesuatu yang sangat menakutkan. Ini kali pertamanya, sang nakhoda merasa takut yang amat sangat. Pengalamannya selama dua puluh tahun dan segudang prestasinya yang gemilang dalam menakhodai kapal seolah tak mampu ia banggakan lagi.Â
Semua itu menjadi sia-sia. Tak ada artinya lagi gelar nakhoda terbaik sedunia yang disandangnya bertahun-tahun. Tak ada artinya lagi bintang jasa yang menjubeli seragamnya itu. Sama sekali tak ada artinya.
Sesuatu yang lebih besar dari apa yang dibanggakannya kini tepat berada di depannya. Ya, dengan kecepatan yang tak terprediksi ombak yang amat besar dengan ketinggian duapuluh meter itu mendadak muncul di depan kapal itu.Â
Hanya berjarak tiga kilometer. Sebuah jarak yang amat pendek bagi kapal pesiar yang tengah melaju dengan kecepatan normal sekalipun. Mustahil untuk memutar haluan dan menghindar. Apalagi pantauan radar kapal menangkap sinyal jika kecepatan laju ombak itu mencapai lima puluh kilometer per jam.Â
Artinya, hanya dibutuhkan waktu tiga menit tigapuluh enam detik bagi ombak itu untuk menggulung kapal pesiar mewah itu. Sedang kecepatan laju kapal itu empatpuluh kilometer per jam. Itu artinya, kapal hanya memiliki waktu limapuluh empat detik untuk diselamatkan.