Kemarahan itu hanya dipicu oleh rasa malu asisten menteri itu, karena mengenakan jas yang basah. Atas rasa malunya itu, ia lekas-lekas menelepon pemilik perusahaan maskapai kapal itu, dan meminta agar segera membina si awak kapal.Â
Asisten itu juga mengancam akan membawanya ke meja pengadilan bahkan berencana pula akan mengajukan masalah itu sampai di meja sidang DPR jika masalah itu tak diselesaikan.
Benar saja. Tak perlu menunggu lama, masalah kecil itu menjadi besar. Asisten menteri itu memanfaatkan media untuk menghancurkan citra dari perusahaan kapal itu. Ia berkoar di koran, majalah, televisi bahkan di media-media online.
Dalam jumpa pers yang digelarnya, asisten menteri itu berkata, "Perusahaan pelayaran kapal pesiar megah yang bernama Dewa Ruci itu telah menghina saya.Â
Saya yang semula membanggakan kebesaran nama perusahaan itu dihina pihak perusahaan karena ternyata mereka memelihara para pekerja yang tidak profesional. Ini tamparan buat saya! Karena dulu, sayalah orang pertama yang memberi jaminan pada mereka. Untuk itu, perusahaan ini harus segera ditutup!"
Kontan, setelah jumpa pers itu digelar, masalah itu pun menarik perhatian sejumlah pejabat dan politisi yang duduk di DPR. Seketika pula, masalah itu diagendakan dalam sidang DPR. Dari sidang itu, muncul wacana agar perusahaan kapal itu dibekukan. Tentu, banyak alasan yang dibuat atau sengaja dibuat-buat.
Tak mau kalah dan tak mau salah, pihak perusahaan pun segera ambil langkah. Perusahaan memberikan sebuah paket khusus bagi para pejabat dan politisi. Berpesiar dengan gratis sekaligus bonus uang saku.Â
Ya, hanya dengan istilah 'gratis' dan 'bonus', semua masalah dapat diselesaikan. Perusahaan tak jadi dibekukan. Tetapi, pembekuan dilakukan hanya pada awak kapal yang menumpahkan minuman itu.
Prak! Terasa ditampar sudah. Awak kapal itu melenggang kaki keluar dari pintu perusahaan dengan langkahnya yang gontai. Tak ada yang bisa diperbuat, selain menyesali apa yang telah terjadi.Â
Sesampainya di rumah, kata-kata yang diucapkan asisten menteri dan juga bosnya terngiang. Ia lalu seperti kehilangan obor hidupnya. Kegairahan hidupnya tiba-tiba redup.
Pengalaman pahit nasib seorang awak kapal itulah yang kemudian membimbing awak kapal si pemilik suara yang menyejukkan itu. Ia tak mau bernasib sama dengan kawannya yang telah di-PHK itu.Â