Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mungkin, karena Aku Perempuan

7 Oktober 2023   21:49 Diperbarui: 7 Oktober 2023   22:15 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cukuplah aku mengerti sekarang. Mengapa Tuhan menakdirkanku sebagai seorang perempuan. Semua menjadi terang di mataku, apa itu rasa keadilan. Bahwa, ketidakadilan adalah keadilan itu sendiri. Dan, akulah saksi atas ketidakadilan itu.

Disiram cahaya matahari yang menyengat, sepenggal siang di musim kemarau yang panjang telah menggiring sekelompok anak muda berjas almamater berhamburan di halaman kampus. Ruang-ruang kelas kosong. Sementara, para dosen terbengong menyaksikan pemandangan itu.

Mereka berdiri di bawah kaki gedung-gedung bertingkat. Melantangkan suara sambil mengepalkan tangan dan diangkat tinggi-tinggi. Seolah hendak merobohkan keangkuhan gedung-gedung tinggi itu.

Terlihat pula, beberapa di antara mereka menaiki panggung kecil berlatar bentangan layar yang bertuliskan "MIMBAR BEBAS". Satu per satu mereka angkat bicara dengan pelantang suara. Suara mereka lantang, meneriakkan sengkarut yang membuat kampus mereka gonjang-ganjing. Suara mereka seperti letupan-letupan yang dididihkan oleh rasa kecewa yang tak kuasa mereka bendung, hingga nyaris menjadi sebuah kemarahan. Apa yang membuat mereka marah?

Semua bermula dari sebuah ketidaksengajaan yang menyingkap sebuah kesengajaan. Ketidaksengajaan yang pada akhirnya mengungkap niat busuk dari kesengajaan yang menebarkan kecemasan. Sayang, ketidaksengajaan itu kemudian menjadi tak ada artinya sama sekali, ketika kesengajaan yang diliputi niat busuk itu terabaikan oleh mereka, para pemegang kuasa. Mereka yang memiliki wewenang untuk mengolah kesengajaan. Tetapi, mereka bungkam. Entah apa masalahnya.

Di ruang kantornya, Wicaksono tampak mondar-mandir. Beberapa kali ia mengintip dari balik tirai yang terpasang di jendela. Menatap ke arah kerumunan anak-anak muda itu. Lalu, kembali duduk di meja kerjanya yang kesepian, karena memang tak ada meja kerja lain di ruangannya. Hanya meja kerjanya yang terpaku di ruangan itu. Selebihnya, meja kursi tamu.

Kursi empuk yang membuat pantat Wicak nyaman itu belum lama ia duduki. Sudah lama ia mengincar kursi itu. Begitu ia dapatkan, kursi itu diguncang oleh suara sumbang para mahasiswa. Padahal, ia baru saja mengambil satu langkah untuk membuat kampus yang ia pimpin itu maju.

"Bagaimana baiknya, Pak?" ucapan itu meluncur begitu saja dari mulut Cahyo, orang yang selama ini dipercaya Wicak untuk mengurusi mahasiswa.

Setengah malas, Wicak membalas, "Apanya yang bagaimana?"

"Maksudnya, kalau memang saya perlu turun menemui mereka, saya siap. Tetapi, saya butuh keterangan dari Bapak agar bisa saya sampaikan kepada mereka," jelas Cahyo.

"Reputasi kampus. Itu yang paling penting. Jangan sampai gara-gara aksi mereka, reputasi kampus tercoreng. Itu saja," balas Wicak.

"Baik, Pak. Saya mengerti."

Mardhani, yang sejak mula turut dalam perbincangan itu menyela, "Saya curiga, mereka itu hanya kuda poni, Pak."

"Apapun itu, persoalan kita saat ini adalah jangan sampai reputasi kampus ini jelek gara-gara aksi mereka. Itu saja. Lain-lainnya, saya yakin kalian bisa mengatasinya. Apapun caranya," suara Wicak mulai meninggi saat mengucapkan itu. "Sekarang, Pak Cahyo dan Pak Dhani turunlah. Temui mereka. Bawa juga beberapa staf untuk mendampingi kalian. Buat jaga-jaga," lanjut Wicak.

Rapat singkat itu bubar. Cahyo, Dhani, dan beberapa staf turun menemui mahasiswa. Sementara aku, kembali menemui meja kerjaku yang beku. Tumpukan berkas menunggu. Harus segera dilaporkan.

Tetapi, aku seperti kehilangan daya. Berkas-berkas itu kubiarkan begitu saja. Suara-suara teriakan itu terdengar kian lantang. Menembus dinding kantor yang tak bercelah. Suara-suara teriakan itu menggugah ingatanku pada masa silamku.

Masih tergambar jelas, bagaimana kejadian itu. Seorang gadis desa yang mencoba membangun nasibnya, tiba-tiba runtuh diterjang badai. Demi masa depan yang aku sendiri tak sempat menggambarkannya waktu itu, pada akhirnya aku tak punya kuasa atas tubuhku sendiri. Di ruang tamu itu, lelaki yang kupandang sebagai orang yang berpengetahuan luas dengan sederet titel di depan dan belakang namanya itu merenggut kehormatanku sebagai seorang perempuan. Aku tak mengerti, mengapa demikian buasnya lelaki? Sampai-sampai, mereka tak peduli dengan apa-apa yang melekat pada dirinya.

Berkas skripsi yang semula di genggaman jatuh berhamburan, dibasahi keringat dan air mataku. Juga darah kewanitaanku. Aku meronta. Tetapi, tak sanggup meneriakkan lebih lantang. Suaraku tertahan di tenggorokan.

Usai menerjang dosa itu, lelaki itu kemudian memasang tampangnya yang seolah-olah penuh belas kasihan. Lalu, dengan entengnya ia berkata, "Tak perlu dipikir lagi. Skripsimu sudah pasti aku acc. Minggu depan ujian. Soal nilai, aku pasti akan memberikan yang terbaik untukmu. Asal, kau tahu kan?"

Aku ingin mengumpat. Tetapi, aku tak sanggup. Dan rasanya percuma saja. Ia telah benar-benar membuatku rendah serendah-rendahnya. Aku kehilangan segalanya dalam hidupku. Mana mungkin pula aku sanggup melawan. Apalagi hari itu bukanlah akhir. Masih ada yang aku butuhkan, demi mendapatkan gelar sarjana.

Kalaupun aku mengadu, kepada siapa? Dan, apakah mungkin mereka akan percaya? Apakah mungkin mereka juga akan membelaku? Malahan, bisa saja aku dipermalukan.

Sejak itu, aku diam. Aib itu sangat menyakitkan. Aku tak sanggup menceritakan semuanya. Kepada Ibuku, aku tak sanggup. Meski ia sesungguhnya cukup mengerti. Kepada Ayahku, aku tak mungkin menceritakannya. Itu hanya akan menambah masalah. Makin rumitlah semuanya.

Pengalaman pahit itu makin getir kurasa, ketika sebuah kasus serupa menimpa seorang adik tingkatku. Ia beruntung, karena ia berani buka suara. Tak hanya itu, ia juga didukung oleh teman-teman mahasiswa yang berempati padanya. Seketika, kampus bergejolak!

Demo besar-besaran digelar. Beberapa dari mahasiswa melantangkan suara, membela para korban. Tak hanya seorang. Ada puluhan!

Aku duduk termangu menyaksikan mereka. Meratapi masa laluku yang hampa. Aku terharu sekaligus lara. Kutekan rasa perih hatiku. Kubekap suaraku. Membiarkan suara itu hanya menggema di dalam hatiku.

Aku segera berlari menjauh. Aku tak kuasa menahan air mata, karena bukan hanya cekam dan rasa kecewa yang menggayuti pikiranku. Akan tetapi, penyesalan yang aku takutkan bakal tak berkesudahan.

Esok hari, kudengar kabar. Tak ada tindakan apa-apa, kecuali orang yang telah menebar cekam itu dirumahkan. Sementara, tak pula ada kejelasan hukum baginya, dan tak pula perlindungan hukum bagi korban.

Lagi-lagi, berakhir kecewa.

Kini, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Betapa keangkuhan telah merajai segala pikiran orang-orang yang kukenal baik itu. Demi mempertahankan sesuatu yang sesungguhnya tak jelas, mereka rela mengorbankan yang mestinya mereka bela.

Keputusan yang mereka ambil tidak lebih sekadar usaha mereka menopengi diri. Alih-alih membela nama baik, mereka sesungguhnya hanya bersembunyi di balik kebesaran nama kampus. Mereka tak benar-benar membela korban yang jumlahnya di luar dugaan itu. Ratusan mahasiswa dihantui rasa cekam. Entah, akan sampai kapan rasa itu pupus dan hilang.  Mungkin, akan terbawa selamanya.

Sementara, orang-orang yang kukenal baik itu membiarkan begitu saja lelaki durjana yang telah menebarkan rasa cekam itu dengan kamera itu. Mereka melepaskan lelaki durjana itu tanpa hukuman.

Inikah keadilan?

Rasanya, teramat sulit untuk menemukan keadilan. Terlebih, ketika kebenaran telah terungkap, orang-orang yang kukenal baik itu tak mengambil sikap. Kecuali, melenyapkan kebenaran itu dan buru-buru menghapus catatan merah itu dengan sandiwara yang mereka ciptakan. Entah demi apa?

Mungkin mereka perlu mengerti, sebagaimana yang kualami di masa lampau, bahwa menjadi korban yang tak sanggup menyatakan dengan lantang apa yang mesti disuarakan, selamanya ia akan merasa dihantui oleh kecemakan. Apapun itu, tak akan menyembuhkan. Sebab, manusia tak sanggup hidup dalam kesendirian. Tetapi, teramat sedikit teman yang sanggup mengerti.

Aku ingin berteriak untuk mereka. Untuk perempuan-perempuan yang terzalimi. Tetapi, lagi-lagi suaraku tersangkut di tenggorokan. Ada aib yang mesti aku tutup rapat-rapat. Aib yang ditorehkan oleh masa lalu.

"Kasihan mereka," gumamku. Dan, aku hanya bisa mengelus dada. Menahan luapan kekecewaanku yang tak ingin kubiarkan menjadi kemarahan. Sambil lagi-lagi kutekan masa laluku agar tak menghantuiku.

Pekalongan, 7 Oktober 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun