"Reputasi kampus. Itu yang paling penting. Jangan sampai gara-gara aksi mereka, reputasi kampus tercoreng. Itu saja," balas Wicak.
"Baik, Pak. Saya mengerti."
Mardhani, yang sejak mula turut dalam perbincangan itu menyela, "Saya curiga, mereka itu hanya kuda poni, Pak."
"Apapun itu, persoalan kita saat ini adalah jangan sampai reputasi kampus ini jelek gara-gara aksi mereka. Itu saja. Lain-lainnya, saya yakin kalian bisa mengatasinya. Apapun caranya," suara Wicak mulai meninggi saat mengucapkan itu. "Sekarang, Pak Cahyo dan Pak Dhani turunlah. Temui mereka. Bawa juga beberapa staf untuk mendampingi kalian. Buat jaga-jaga," lanjut Wicak.
Rapat singkat itu bubar. Cahyo, Dhani, dan beberapa staf turun menemui mahasiswa. Sementara aku, kembali menemui meja kerjaku yang beku. Tumpukan berkas menunggu. Harus segera dilaporkan.
Tetapi, aku seperti kehilangan daya. Berkas-berkas itu kubiarkan begitu saja. Suara-suara teriakan itu terdengar kian lantang. Menembus dinding kantor yang tak bercelah. Suara-suara teriakan itu menggugah ingatanku pada masa silamku.
Masih tergambar jelas, bagaimana kejadian itu. Seorang gadis desa yang mencoba membangun nasibnya, tiba-tiba runtuh diterjang badai. Demi masa depan yang aku sendiri tak sempat menggambarkannya waktu itu, pada akhirnya aku tak punya kuasa atas tubuhku sendiri. Di ruang tamu itu, lelaki yang kupandang sebagai orang yang berpengetahuan luas dengan sederet titel di depan dan belakang namanya itu merenggut kehormatanku sebagai seorang perempuan. Aku tak mengerti, mengapa demikian buasnya lelaki? Sampai-sampai, mereka tak peduli dengan apa-apa yang melekat pada dirinya.
Berkas skripsi yang semula di genggaman jatuh berhamburan, dibasahi keringat dan air mataku. Juga darah kewanitaanku. Aku meronta. Tetapi, tak sanggup meneriakkan lebih lantang. Suaraku tertahan di tenggorokan.
Usai menerjang dosa itu, lelaki itu kemudian memasang tampangnya yang seolah-olah penuh belas kasihan. Lalu, dengan entengnya ia berkata, "Tak perlu dipikir lagi. Skripsimu sudah pasti aku acc. Minggu depan ujian. Soal nilai, aku pasti akan memberikan yang terbaik untukmu. Asal, kau tahu kan?"
Aku ingin mengumpat. Tetapi, aku tak sanggup. Dan rasanya percuma saja. Ia telah benar-benar membuatku rendah serendah-rendahnya. Aku kehilangan segalanya dalam hidupku. Mana mungkin pula aku sanggup melawan. Apalagi hari itu bukanlah akhir. Masih ada yang aku butuhkan, demi mendapatkan gelar sarjana.
Kalaupun aku mengadu, kepada siapa? Dan, apakah mungkin mereka akan percaya? Apakah mungkin mereka juga akan membelaku? Malahan, bisa saja aku dipermalukan.