Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Skripsi Bukti Intelektualitas? Serius?

31 Agustus 2023   02:35 Diperbarui: 2 September 2023   11:31 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan baru yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bagi saya adalah sesuatu banget. 

Bagaimana tidak, kebijakan itu tidak menutup kemungkinan bakal menerima penolakan dari sebagian orang yang berpandangan saklek, bahwa skripsi itu penting. 

Mereka yang berpandangan, bahwa skripsi itu bukti kalau seseorang yang lulus jadi sarjana itu benar-benar intelek.

Tapi, apa benar begitu? Bahwa skripsi bisa membuktikan intelektualitas seseorang? Sepertinya, ini masih perlu diteliti.

Sementara, Anda mungkin berangan-angan meniliti hal itu, saya mau bercerita saja. Tentu, cerita pengalaman saya sajalah. Nggak usah yang lain-lain.

Dulu, ketika saya masih menyusun skripsi, hanya demi dapat huruf "S" di belakang nama, saya pernah mendapatkan nasihat yang baik dari seorang teman. Kata teman saya, "Mbok bikin skripsi itu yang gampang-gampang saja. Jangan nyusahin diri sendiri."

Saya kira, nasihat itu bagus, baik. Tetapi ada yang mesti saya garis bawahi, ditebalkan, dan bila perlu dicetak miring. Yaitu, pada kata "yang gampang-gampang saja". 

Saya nggak habis pikir, kenapa teman saya bisa bilang seperti itu. Sebab, bagi saya, sesederhana apapun, yang namanya proses untuk menggali ilmu itu bukan perkara yang gampang. Apalagi menerapkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari.

Memang, kalau kita mempelajari sejarah ilmu pengetahuan ada kalanya kita jumpai penemuan-penemuan yang dilakukan oleh para penemu ataupun ilmuwan berangkat dari hal sepele dan kadang tanpa sengaja. 

Sebut saja, Isaac Newton ketika menemukan hukum gravitasi. Awalnya, ia hanya menjumpai sebuah peristiwa kecil yang secara alami wajar-wajar saja. Hanya sebuah apel yang jatuh.

Tetapi, bagaimana ia merumuskannya menjadi hukum gravitasi, sudah barang tentu bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Meski rumus yang dibikinnya boleh jadi kita pandang sebagai susunan lambang-lambang yang sederhana. 

Pada rumus itu hanya ada tiga huruf yang disusun: F, G, m, R. Tetapi, bagaimana bisa ia mengkonfigurasikan huruf-huruf itu untuk membahasakan peristiwa jatuhnya buah apel? Bagaimana bisa juga konfikurasi huruf-huruf itu digunakan untuk mengukur gravitasi?

Sedang, kita tahu, rumus itu ditemukannya pada tahun 1687. Ketika itu, mesin pencarian berbasis internet belum ditemukan. 

Mana mungkin Isaac Newton browsing seperti kita saat menyusun skripsi, thesis, maupuan disertasi, sehingga mudah betul bagi kita untuk menemukan bahan-bahan literatur. 

Dengan browsing, kita diberi kemudahan bermain keterampilan tempel-menempel kutipan dari jurnal atau tulisan-tulisan lain.

Saking asyiknya tempel-menempel, kita bahkan tenggelam dalam tempelan-tempelan itu. Kita tak sadar, kalau skripsi, thesis, maupun disertasi yang kita susun hanyalah kumpulan tempelan yang tidak bisa dimaknai lagi, kecuali hanya untuk memamerkan diri, seolah-olah kita adalah orang yang giat membaca, meski sebenarnya belum sepenuhnya.

Dari sini saja, kita sudah menggampangkan. Lalu, masih mau bikin "yang gampang-gampang saja"? Apanya yang gampang? Mungkinkah yang gampang itu maksudnya adalah yang nggak pakai mikir? Lalu, sejak kapan sekolah itu nggak mikir?

Nasihat yang baik itu akhirnya membuat saya mikir. Jangan-jangan skripsi memang bukan bukti intelektualitas seseorang. Ini baru jangan-jangan. Baru dugaan. 

Belum tentu dugaan saya benar. Sangat mungkin salah. Tapi, saya yakin, tiap orang yang pernah kuliah punya pandangan yang beda-beda soal dugaan saya ini.

Definisi gampang bisa bermacam-macam. Pertama, yang penting bikin. Soal mutunya urusan belakangan. Penting lulus! Kedua, bisa saja pakai jasa "teman". Karena, pernah beberapa teman saya mengaku kalau dia njoki skripsi mahasiswa. 

Bahkan, dia kasih tarif cukup mahal untuk sebuah skripsi. Lebih mahalnya lagi, skripsi yang dibikin itu sebenarnya copas dari skripsi di kampus lain. Tinggal ganti lokusnya. Gila!

Ketiga, main uang pelicin. Kata seorang teman yang waktu itu kuliah S3, dia kalau datang ke dosbing disertasinya suka bawa sesuatu. 

Alasannya, sekadar nyambung tali silaturahmi. Bahkan, saat mau sidang terbuka, ia masih sempat-sempatnya menemui penguji utamanya dan membawakan oleh-oleh.

Betapa rendahnya rasa percaya diri mereka yang demikian. Lalu, mengapa sedemikian rendahnya rasa percaya diri mereka? Saya tidak tahu. 

Tetapi, bisa jadi ada banyak faktor yang menyebabkan rasa percaya diri itu rendah, sampai tega-teganya merendahkan martabat ilmu.

Mungkin lupa, bahwa adab bukan hanya ditunjukkan kepada sesama manusia. Akan tetapi, juga kepada ilmu pengetahuan. 

Sebab, ilmu pengetahuan adalah rahmat yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Kalau kita menganggap rendah ilmu pengetahuan, boleh jadi kita juga merendahkan rahmat Tuhan.

Maka, ketimbang menambah daftar dosa yang mengatasnamakan intelektualitas itu, saya pikir, keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu tepat. Menjadikan skripsi bukan sebagai syarat lulus.

Apalagi, salah seorang teman yang juga dosen di sebuah kampus di kota kelahiran saya pernah bilang, bahwa skripsi itu sekadar latihan menulis laporan penelitian. 

Lha kalau latihan, mengapa jadi serba sulit dan menyulitkan? Bahkan, sampai ada yang rela merogoh kantong lebih dalam untuk bayar joki atau sekadar membelikan sesuatu untuk dosbing.

Padahal, sekarang biaya kuliah itu nggak murah. Lebih-lebih, di kampus-kampus non pemerintah punya. Kecuali, bagi mereka yang dibiayai lewat uang negara atau dapat suntikan dana dari organisasi atau perusahaan. Mereka bisa lebih fokus kuliah ketimbang yang tidak mendapatkan suntikan dana.

Di kampus swasta, biaya yang mesti ditanggung seorang mahasiswa nggak hanya uang SPP, dana Sumbangan Pengembangan Institusi, Jas Almamater, maupun dana Kemahasiswaan. 

Ada juga uang untuk daftar KKN, KKL, Magang, Praktikum, Bimbingan Skripsi, sampai Wisuda. Bahkan, ada juga biaya WIFI yang ditanggung mahasiswa meski sambungan WIFI-nya ngadat melulu, karena server dan pemakaiannya nggak imbang. Itu belum biaya-biaya tak terduga lainnya.

Dari masalah biaya saja, tak jarang membuat sebagian mahasiswa harus nyambi bekerja. Setidaknya, agar semua ongkos yang bakal mereka keluarkan itu tercukupi. 

Agar orang tua juga tidak terbebani. Konsekuensinya, kuliah mereka bisa saja terganggu gara-gara kurang fokus. Bahkan, mungkin saja saat mereka bikin skripsi, mereka merasa sangat kesulitan. Terutama, untuk membagi waktu dan pikiran.

Belum lagi bagi mahasiswa yang berasal dari desa terpencil di kawasan pegunungan sana. Saya pernah melihat langsung kehidupan masyarakat di desa asal mahasiswa itu. Biaya hidup di sana untuk ukuran orang kota sangat murah. Uang satu juta, bagi mereka sudah sangat banyak.

Tetapi, ketika mereka menyekolahkan anak bisa saja mereka jual lahan sawah, motor, bahkan sampai jualan rumah. 

Sebab, standar yang digunakan oleh kampus dalam pembiayaan kuliah dipukul rata. Nggak pandang itu anak gunung atau anak kota. Sedang, beasiswa belum tentu mereka dapatkan.

Begitu mereka pulang ke desa setelah lulus, belum tentu juga mereka sanggup dan mau membangun desanya. Karena mereka beranggapan, desa tempat mereka dilahirkan tidak menjamin masa depan mereka lebih baik. 

Betapa, durhakanya jika anggapan itu yang mereka anut. Mestinya, mereka bangun desa mereka dengan keluhuran nilai-nilai budaya desa asal mereka. 

Bukan sebaliknya, menganggap desa hanya sebagai tempat untuk menanam badan setelah mereka tua dan renta, pensiun dari pekerjaan dan pensiun dari hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun