Dari masalah biaya saja, tak jarang membuat sebagian mahasiswa harus nyambi bekerja. Setidaknya, agar semua ongkos yang bakal mereka keluarkan itu tercukupi.Â
Agar orang tua juga tidak terbebani. Konsekuensinya, kuliah mereka bisa saja terganggu gara-gara kurang fokus. Bahkan, mungkin saja saat mereka bikin skripsi, mereka merasa sangat kesulitan. Terutama, untuk membagi waktu dan pikiran.
Belum lagi bagi mahasiswa yang berasal dari desa terpencil di kawasan pegunungan sana. Saya pernah melihat langsung kehidupan masyarakat di desa asal mahasiswa itu. Biaya hidup di sana untuk ukuran orang kota sangat murah. Uang satu juta, bagi mereka sudah sangat banyak.
Tetapi, ketika mereka menyekolahkan anak bisa saja mereka jual lahan sawah, motor, bahkan sampai jualan rumah.Â
Sebab, standar yang digunakan oleh kampus dalam pembiayaan kuliah dipukul rata. Nggak pandang itu anak gunung atau anak kota. Sedang, beasiswa belum tentu mereka dapatkan.
Begitu mereka pulang ke desa setelah lulus, belum tentu juga mereka sanggup dan mau membangun desanya. Karena mereka beranggapan, desa tempat mereka dilahirkan tidak menjamin masa depan mereka lebih baik.Â
Betapa, durhakanya jika anggapan itu yang mereka anut. Mestinya, mereka bangun desa mereka dengan keluhuran nilai-nilai budaya desa asal mereka.Â
Bukan sebaliknya, menganggap desa hanya sebagai tempat untuk menanam badan setelah mereka tua dan renta, pensiun dari pekerjaan dan pensiun dari hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H