Alasannya, sekadar nyambung tali silaturahmi. Bahkan, saat mau sidang terbuka, ia masih sempat-sempatnya menemui penguji utamanya dan membawakan oleh-oleh.
Betapa rendahnya rasa percaya diri mereka yang demikian. Lalu, mengapa sedemikian rendahnya rasa percaya diri mereka? Saya tidak tahu.Â
Tetapi, bisa jadi ada banyak faktor yang menyebabkan rasa percaya diri itu rendah, sampai tega-teganya merendahkan martabat ilmu.
Mungkin lupa, bahwa adab bukan hanya ditunjukkan kepada sesama manusia. Akan tetapi, juga kepada ilmu pengetahuan.Â
Sebab, ilmu pengetahuan adalah rahmat yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Kalau kita menganggap rendah ilmu pengetahuan, boleh jadi kita juga merendahkan rahmat Tuhan.
Maka, ketimbang menambah daftar dosa yang mengatasnamakan intelektualitas itu, saya pikir, keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu tepat. Menjadikan skripsi bukan sebagai syarat lulus.
Apalagi, salah seorang teman yang juga dosen di sebuah kampus di kota kelahiran saya pernah bilang, bahwa skripsi itu sekadar latihan menulis laporan penelitian.Â
Lha kalau latihan, mengapa jadi serba sulit dan menyulitkan? Bahkan, sampai ada yang rela merogoh kantong lebih dalam untuk bayar joki atau sekadar membelikan sesuatu untuk dosbing.
Padahal, sekarang biaya kuliah itu nggak murah. Lebih-lebih, di kampus-kampus non pemerintah punya. Kecuali, bagi mereka yang dibiayai lewat uang negara atau dapat suntikan dana dari organisasi atau perusahaan. Mereka bisa lebih fokus kuliah ketimbang yang tidak mendapatkan suntikan dana.
Di kampus swasta, biaya yang mesti ditanggung seorang mahasiswa nggak hanya uang SPP, dana Sumbangan Pengembangan Institusi, Jas Almamater, maupun dana Kemahasiswaan.Â
Ada juga uang untuk daftar KKN, KKL, Magang, Praktikum, Bimbingan Skripsi, sampai Wisuda. Bahkan, ada juga biaya WIFI yang ditanggung mahasiswa meski sambungan WIFI-nya ngadat melulu, karena server dan pemakaiannya nggak imbang. Itu belum biaya-biaya tak terduga lainnya.