Pendidikan dan Kebudayaan bagi saya adalah sesuatu banget.Â
Kebijakan baru yang dikeluarkan KementerianBagaimana tidak, kebijakan itu tidak menutup kemungkinan bakal menerima penolakan dari sebagian orang yang berpandangan saklek, bahwa skripsi itu penting.Â
Mereka yang berpandangan, bahwa skripsi itu bukti kalau seseorang yang lulus jadi sarjana itu benar-benar intelek.
Tapi, apa benar begitu? Bahwa skripsi bisa membuktikan intelektualitas seseorang? Sepertinya, ini masih perlu diteliti.
Sementara, Anda mungkin berangan-angan meniliti hal itu, saya mau bercerita saja. Tentu, cerita pengalaman saya sajalah. Nggak usah yang lain-lain.
Dulu, ketika saya masih menyusun skripsi, hanya demi dapat huruf "S" di belakang nama, saya pernah mendapatkan nasihat yang baik dari seorang teman. Kata teman saya, "Mbok bikin skripsi itu yang gampang-gampang saja. Jangan nyusahin diri sendiri."
Saya kira, nasihat itu bagus, baik. Tetapi ada yang mesti saya garis bawahi, ditebalkan, dan bila perlu dicetak miring. Yaitu, pada kata "yang gampang-gampang saja".Â
Saya nggak habis pikir, kenapa teman saya bisa bilang seperti itu. Sebab, bagi saya, sesederhana apapun, yang namanya proses untuk menggali ilmu itu bukan perkara yang gampang. Apalagi menerapkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari.
Memang, kalau kita mempelajari sejarah ilmu pengetahuan ada kalanya kita jumpai penemuan-penemuan yang dilakukan oleh para penemu ataupun ilmuwan berangkat dari hal sepele dan kadang tanpa sengaja.Â
Sebut saja, Isaac Newton ketika menemukan hukum gravitasi. Awalnya, ia hanya menjumpai sebuah peristiwa kecil yang secara alami wajar-wajar saja. Hanya sebuah apel yang jatuh.
Tetapi, bagaimana ia merumuskannya menjadi hukum gravitasi, sudah barang tentu bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Meski rumus yang dibikinnya boleh jadi kita pandang sebagai susunan lambang-lambang yang sederhana.Â