Saya pikir, jika memang ingin diseriusi, maka program Kampung Canting akan bisa menggerakkan masyarakat di segala bidang. Masyarakat dapat disiapkan sebagai tuan rumah yang baik dan ramah. Keterampilan komunikasi masyarakat bisa dilatih dan digunakan sebagai modal bagi usaha menjalankan misi sebagai kampung wisata.
Begitu pula dalam urusan literasinya. Belum lagi dalam hal penataan kampung yang benar-benar nyaman. Bila perlu tersedia hunian bagi wisatawan yang ingin singgah di Kampung Canting dan belajar tentang seni canting. Dan masih banyak lagi....
Ah, mungkin ekspektasi saya yang terlampau kejauhan atau mungkin karena saya luput menangkap maksud dari pengukuhan Kampung Landungsari sebagai Kampung Canting. Sebab faktanya, sampai hari ini para pengrajin canting di kampung ini rata-rata adalah mereka yang sudah cukup berumur. Atau pula mereka yang tidak memiliki keberuntungan dalam mencari pekerjaan.
Bahkan, mereka yang kadung menekuni bidang yang satu ini jarang yang menghendaki agar anak-cucu mereka menjadi pengrajin canting. Alasannya sederhana, upahnya tak seberapa. Tingkat kesejahteraannya juga masih rendah.
Jika demikian, akan berapa lama lagi Kampung Canting dapat bertahan hingga menjadi sekadar lembar foto kenangan yang memburam di album foto? Saya tidak tahu, bagaimana mesti menjawabnya.Â
Yang jelas, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dirembuk dan dikerjakan. Semoga ada kesempatan yang lebih leluasa untuk membincangkan masalah ini di kemudian hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H