Tahun 2013, di depan mulut gang kampung tempat saya tinggal didirikanlah tugu Kampung Canting. Tugu itu menjadi penanda bahwa kampung saya dikukuhkan sebagai Kampung Canting yang sudah dicetuskan dua tahun sebelumnya (2011). Pendirian tugu itu juga menandai bahwa kampung saya dinobatkan sebagai salah satu destinasi wisata Kota Pekalongan.
Sebagai warga kampung saya patutlah berbahagia. Saya membayangkan kalau-kalau kampung saya dikunjungi banyak orang dengan beraneka warna kulit dan rambut. Saya membayangkan pula, orang-orang di kampung saya lancar mengucapkan kalimat, "Welcome to Kampung Canting. Hope you feel at home in our village" atau bahasa-bahasa asing lainnya saat menjamu tamu-tamu dari luar negeri.
Para penarik becak akan mendapatkan upah dengan lembar-lembar uang dolar. Rumah-rumah warga disulap menjadi homestay yang nyaman bagi wisatawan. Makanan khas kampung kami juga bakal menjadi santapan yang lezat di lidah para wisatawan.
Saya membayangkan, akan ada banyak tempat yang dihias untuk mempercantik kampung. Juga ada semacam balai pertunjukan yang menampilkan para seniman kampung. Wah, pokoknya banyak hal yang saya bayangkan waktu itu.
Saya tak mengukur, apakah impian-impian itu terlalu tinggi atau tidak. Yang saya pahami waktu itu adalah kampung saya bakal menjadi kampung yang maju. Karena, warga kampung sudah terbiasa bercengkerama dengan para bule.
Kini, setelah sepuluh tahun tugu itu didirikan, rasa-rasanya apa yang saya bayangkan masih saja menjadi bayang-bayang. Malahan, bayangan itu makin memburam dan pudar. Seperti cat pada tugu Kampung Canting yang terpasang di atas trotoar itu yan kian hari memudar. Lampu-lampu yang terpasang juga padam.
Malah, tugu itu kerap terhalang oleh lapak-lapak para pedagang kaki lima yang mangkal di sekitar tugu Kampung Canting. Boleh dibilang, nasib tugu itu tersia-siakan. Debu yang menempel pada tugu menebal. Mungkin, tinggal menunggu saatnya karatan. Maklum, tugu itu lebih banyak didominasi bahan logam besi.
Padahal, kalau membaca lagi cerita awal didirikannya Kampung Canting, saya sempat dibikin salut. Sebab, menurut beberapa sumber informasi, pendirian Kampung Canting ini diinisiasi oleh sejumlah tokoh masyarakat dan penggiat Komunitas Canting. Bahkan, telah mendapatkan restu dari dinas terkait.
Begitu pula dengan pendirian tugu Kampung Canting. Yang saya dengar, didanai lewat APBD Kota Pekalongan. Tetapi, sejauh ini belum diketahui berapa dana yang terkucur untuk pembangunannya dan perawatannya.
Sempat juga akan didirikan semacam galeri. Tujuannya, sebagai ruang pamer produk canting khas Landungsari. Tapi, hingga saat ini kabar mengenai galeri itu seperti kehilangan gaungnya. Mungkin, saking padatnya lalu lintas di kawasan jalan utama yang membelah kampung Landungsari, sehingga suara deru mesin lebih riuh memenuhi telinga.
Ya, inilah Kampung Canting yang begitu sibuk. Di kampung ini Anda bisa membeli canting-canting bikinan para pengrajin canting kampung ini. Harganya variatif. Bergantung tingkat kerumitan motif yang dipesan, kualitas produk, dan bahan pembuatnya. Jadi, Anda bisa menyesuaikan budget yang Anda sediakan.
Anda bisa memilih pengrajin canting mana yang akan Anda datangi. Baik untuk memesan produk canting maupun diajak kerja sama. Nah, untuk urusan kerja sama Anda bisa saja melakukan tawar-menawar harga dan lain-lain dengan yang bersangkutan.
Tapi, maaf kalau Anda datang untuk menanyakan banyak informasi mengenai kerajinan canting di kampung ini, saya tidak menyarankannya. Mengapa? Karena informasi itu boleh jadi tidak akan lengkap dan tidak akan tuntas.
Sekalipun dinamai Kampung Canting, informasi mengenai asal-usul canting saya yakin tidak akan Anda temukan. Paling-paling sebatas pandangan subjektif dari para pengrajin canting itu sendiri. Itu pun belum tentu mampu menceritakan dengan terperinci.
Jangan heran pula, jika Kampung Canting yang semula dikukuhkan sebagai salah satu destinasi wisata pun tak tertata dengan cukup baik. Pemandangan yang Anda dapatkan tak lebih seperti kampung-kampung pinggiran kota lainnya. Rumah yang berdesak-desakan. Kampung-kampung padat dengan udara yang cukup membikin dada sesak.
Ornamen-ornamen yang menunjukkan identitas Kampung Canting di sini juga tak terlalu tampak menonjol. Hanya ada di beberapa titik. Itu pun kurang memperlihatkan identitas yang kuat.
Ya, begitulah keadaannya. Tetapi, jangan ditanya mengapa hal itu bisa terjadi. Saya tentu tidak akan bisa menjawabnya secara tuntas. Sebab, ada banyak pihak yang memiliki kaitan dengan pengukuhan kampung Landungsari ini sebagai Kampung Canting.
Yang saya pahami, ketika mengikuti Musyawarah Rencana Pembangunan di Kelurahan Noyontaansari beberapa tahun silam, saya sempat menanyakan tentang program Kelurahan yang mendukung program Kampung Canting ini.Â
Jawaban yang diberikan saat itu sungguh di luar dugaan. Bahwa ternyata, Kampung Canting belum menjadi bagian dari program pembangunan kelurahan. Katanya, Kampung Canting di Landungsari merupakan program yang secara vertikal langsung menginduk pada dinas terkait.
Ya ya ya... begitulah. Mendapati jawaban itu saya geregetan. Sebab, saya pikir, program sebagus ini mestinya dapat melibatkan banyak elemen masyarakat. Sehingga, dukungan terhadap Kampung Canting sebagai salah satu destinasi wisata pun bisa dijalankan secara komprehensif.
Saya pikir, jika memang ingin diseriusi, maka program Kampung Canting akan bisa menggerakkan masyarakat di segala bidang. Masyarakat dapat disiapkan sebagai tuan rumah yang baik dan ramah. Keterampilan komunikasi masyarakat bisa dilatih dan digunakan sebagai modal bagi usaha menjalankan misi sebagai kampung wisata.
Begitu pula dalam urusan literasinya. Belum lagi dalam hal penataan kampung yang benar-benar nyaman. Bila perlu tersedia hunian bagi wisatawan yang ingin singgah di Kampung Canting dan belajar tentang seni canting. Dan masih banyak lagi....
Ah, mungkin ekspektasi saya yang terlampau kejauhan atau mungkin karena saya luput menangkap maksud dari pengukuhan Kampung Landungsari sebagai Kampung Canting. Sebab faktanya, sampai hari ini para pengrajin canting di kampung ini rata-rata adalah mereka yang sudah cukup berumur. Atau pula mereka yang tidak memiliki keberuntungan dalam mencari pekerjaan.
Bahkan, mereka yang kadung menekuni bidang yang satu ini jarang yang menghendaki agar anak-cucu mereka menjadi pengrajin canting. Alasannya sederhana, upahnya tak seberapa. Tingkat kesejahteraannya juga masih rendah.
Jika demikian, akan berapa lama lagi Kampung Canting dapat bertahan hingga menjadi sekadar lembar foto kenangan yang memburam di album foto? Saya tidak tahu, bagaimana mesti menjawabnya.Â
Yang jelas, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dirembuk dan dikerjakan. Semoga ada kesempatan yang lebih leluasa untuk membincangkan masalah ini di kemudian hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H