Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah-kisah Laut yang Terkelupas dari Ingatan

19 April 2023   05:19 Diperbarui: 25 April 2023   13:45 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah-kisah tentang laut agaknya masih menjadi kisah yang sangat jarang disentuh di masa sekarang. Khususnya, di wilayah Pekalongan. Entah, sejak kapan hal itu mulai berlaku. 

Tampaknya, hal itu perlu ditelusuri lagi dan dikaji secara mendalam. Mengapa? Karena sesungguhnya budaya masyarakat Pekalongan adalah budaya pesisir, yang dengan kata lain, budaya masyarakat Pekalongan---mestinya---lebih lekat dengan budaya maritim, di samping budaya agraris dan budaya yang lainnya.

Akan tetapi, marilah kita tengok sejenak bagaimana kisah-kisah yang bertebaran di masyarakat kita saat ini. 

Utamanya, kisah-kisah yang menyoroti asal-usul desa, kota, atau suatu perkampungan di Pekalongan. Hampir seluruhnya berakar pada budaya agraris, budaya penggarap tanah.

Ambil contoh saja, kisah tentang asal-usul Pekalongan. Kisah ini kerap kita dengar dan bahkan sampai hafal betul bagaimana alur ceritanya dan peristiwa-peristiwa yang muncul. Juga tak kalah penting adalah nama-nama tokohnya.

Salah satu tokoh utama dalam kisah itu adalah Bahureksa. Tokoh ini apabila kita cermati secara saksama, cenderung dikisahkan sebagai representasi dari masyarakat agraris. 

Terutama, jika merujuk pada gelar yang disematkan pada nama ayah dan sang tokoh utama; "Ki". Gelar ini kerap dipandang sebagai gelar yang disematkan pada tokoh-tokoh besar yang hidup di tengah budaya agraris.

Padahal, apabila kita menelusuri rekam jejak sejarah tokoh yang satu ini, kita justru akan mendapatkan fakta-fakta menarik lainnya. Salah satunya, bahwa Bahureksa adalah seorang laksamana armada laut yang ditugaskan Sultan Agung untuk memimpin penyerbuan Batavia. Apa buktinya?

Buktinya, penyerangan tentara Mataram ke Batavia tidak melalui jalur darat. Akan tetapi, melalui jalur laut. Sebab, benteng Batavia pada waktu itu diletakkan di tepi sungai Ciliwung, di dekat muara.

Di lain hal, gejala kepunahan kisah-kisah tentang laut juga muncul melalui tokoh Dewi Rantamsari. Tokoh ini tak cukup menonjol dalam kisah asal-usul Pekalongan. 

Hanya disebutkan, bahwa Dewi Rantamsari adalah seorang putri saudagar kaya raya yang menguasai pelabuhan utara Pekalongan dan memiliki kongsi dagang antarnegara. 

Sayangnya, kisah Dewi Rantamsari itu sendiri sangat jarang disentuh. Hanya pada soal hubungan asmara antara Dewi Rantamsari dengan Bahureksa, hingga membuat sang sultan marah.

Malah, ada cerita lain mengenai tokoh Dewi Rantamsari yang kemudian ditahbiskan sebagai Dewi Lanjar, sosok penguasa laut utara Jawa di Pekalongan. 

Memang, sosok Dewi Lanjar tidaklah dipandang jahat. Penguasa laut utara ini disebut-sebut sebagai sosok yang kaya raya dan baik hati. 

Akan tetapi, jika ada yang berbuat tidak baik padanya, sosok penguasa laut utara ini juga tak segan-segan membalasnya. Dan, begitu banyak kisah tentang sosok mitos ini.

Kisah tentang laut lainnya yang kikis---bahkan hilang---dari ingatan adalah kisah Rara Mendut. Di dalam kisah itu tersebutlah tokoh Pranacitra, anak seorang saudagar kaya, pemilik bisnis kapal, menguasai pelabuhan utara Pekalongan. Sayang, kisah ini tak begitu populer di masyarakat Pekalongan.

Kini, kisah-kisah itu, walau diingat dalam sesekali, atau sebatas peristiwa-peristiwa kecilnya saja, juga sudah mulai lapuk. Terkikis oleh perubahan zaman yang menghasilkan kebiasaan-kebiasaan baru. 

Kondisi ini juga membuat kisah-kisah laut makin tenggelam. Apalagi ketika anak-anak pantai pun menyaksikan kehidupan orang tua mereka yang kini mulai enggan melaut. 

Orang tua mereka memilih bekerja di pabrik-pabrik. Menjadi buruh dengan upah yang mungkin tak seberapa. Mengapa mereka mau begitu? Karena risikonya tak terlalu besar.

Meski begitu, masih ada yang melaut. Akan tetapi, oleh perubahan situasi itu, anak-anak mereka kadang tak memandang pekerjaan orang tua mereka sebagai nelayan atau pelaut sebagai kebanggaan. 

Bahkan, beberapa orang tua juga menganjurkan agar anak-anak mereka tak mengikuti jejak orang tua mereka. Alasan yang kerap muncul, "Jadi nelayan itu payah!"

Saya kira, ilustrasi tadi patut menjadi perhatian. Betapa sekarang ini Pekalongan memerlukan upaya pemugaran dan penyegaran identitas. 

Bahwa Pekalongan sebagai salah satu poros maritim dunia mesti kembali digemakan. Seperti pernah ditulis Abdurrahman Wahid, yang mengungkapkan bahwa pada abad ke-6, Pekalongan sudah dikenal pedagang-pedagang dunia, karena memiliki pelabuhan besar.

Hal senada juga dituangkan Lombard dalam bukunya, Nusa Jawa. Bahwa, pelabuhan Pekalongan dulu pernah menjadi salah satu tujuan perdagangan. Entah itu, jalur rempah maupun jalur sutra.

Wang Dahai, seorang sarjana Tiongkok abad ke-18 juga menuliskan yang tak jauh beda. Ia menyebut Pekalongan sebagai kota pelabuhan yang nyaman. Tak heran jika ia sangat betah tinggal di Pekalongan.

Agaknya pula, sudah waktunya bagi Pekalongan untuk memeriksa ulang penyematan identitasnya. Bukan sekadar berbangga-bangga dengan predikat baru, sebagai Kota Kreatif Dunia. 

Memang, masih ada persoalan yang belum mampu ditangani berkenaan dengan laut; banjir rob. Tetapi, bukan sebuah kekeliruan juga jika upaya kajian identitas kemaritiman itu terus dilakukan. 

Ada banyak cara, saya kira. Salah satunya melalui penulisan cerita-cerita tentang laut yang berkembang di masyarakat Pekalongan.

Sekian,
Terima kasih.

Pekalongan, 7 April 2023

Disampaikan sebagai makalah pengantar pada acara Ngaji Sejarah bertema "Pekalongan sebagai Poros Maritim Dunia" yang diselenggarakan oleh SOGAN Institute, di Sokola Sogan, Jumat (7 April 2023)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun