Sayangnya, kisah Dewi Rantamsari itu sendiri sangat jarang disentuh. Hanya pada soal hubungan asmara antara Dewi Rantamsari dengan Bahureksa, hingga membuat sang sultan marah.
Malah, ada cerita lain mengenai tokoh Dewi Rantamsari yang kemudian ditahbiskan sebagai Dewi Lanjar, sosok penguasa laut utara Jawa di Pekalongan.Â
Memang, sosok Dewi Lanjar tidaklah dipandang jahat. Penguasa laut utara ini disebut-sebut sebagai sosok yang kaya raya dan baik hati.Â
Akan tetapi, jika ada yang berbuat tidak baik padanya, sosok penguasa laut utara ini juga tak segan-segan membalasnya. Dan, begitu banyak kisah tentang sosok mitos ini.
Kisah tentang laut lainnya yang kikis---bahkan hilang---dari ingatan adalah kisah Rara Mendut. Di dalam kisah itu tersebutlah tokoh Pranacitra, anak seorang saudagar kaya, pemilik bisnis kapal, menguasai pelabuhan utara Pekalongan. Sayang, kisah ini tak begitu populer di masyarakat Pekalongan.
Kini, kisah-kisah itu, walau diingat dalam sesekali, atau sebatas peristiwa-peristiwa kecilnya saja, juga sudah mulai lapuk. Terkikis oleh perubahan zaman yang menghasilkan kebiasaan-kebiasaan baru.Â
Kondisi ini juga membuat kisah-kisah laut makin tenggelam. Apalagi ketika anak-anak pantai pun menyaksikan kehidupan orang tua mereka yang kini mulai enggan melaut.Â
Orang tua mereka memilih bekerja di pabrik-pabrik. Menjadi buruh dengan upah yang mungkin tak seberapa. Mengapa mereka mau begitu? Karena risikonya tak terlalu besar.
Meski begitu, masih ada yang melaut. Akan tetapi, oleh perubahan situasi itu, anak-anak mereka kadang tak memandang pekerjaan orang tua mereka sebagai nelayan atau pelaut sebagai kebanggaan.Â
Bahkan, beberapa orang tua juga menganjurkan agar anak-anak mereka tak mengikuti jejak orang tua mereka. Alasan yang kerap muncul, "Jadi nelayan itu payah!"
Saya kira, ilustrasi tadi patut menjadi perhatian. Betapa sekarang ini Pekalongan memerlukan upaya pemugaran dan penyegaran identitas.Â