Kakek itu segera menaiki punggung untanya. Ia mengulurkan tangan, tanda bahwa ia serius memberikan tawaran. Pemuda itu pun segera menyambut tangan kakek itu dan menaiki punggung unta.
Perjalanan pun berlanjut. Pemuda itu sedikit lega menerima bantuan dari kakek itu. Paling tidak, ia bisa bernapas lega dan tidak harus meradang karena rasa sakit yang dideritanya.
Di tengah perjalanan, pemuda itu mulai merasakan kantuk yang teramat berat. Tak sanggup menahan kantuknya, pemuda itu tertidur pulas di atas punggung unta milik kakek yang baik hati itu. Dan, entah dengan cara apa, perjalanan dengan unta itu terasa begitu singkat. Pemuda yang tertidur itu baru saja merasakan tidurnya yang nyenyak. Tetapi, sang kakek tiba-tiba saja membangunkannya.
"Bangunlah, Nak. Kita sudah sampai di tempat tujuanmu," kata Kakek itu.
Pemuda itu terbangun. Saat membuka matanya, ia seperti tak percaya, jika ia telah berada di Kota Madinah, di dekat makam Rasulullah saw. Padahal, tidur yang baru ia rasakan, belum sampai sehari penuh.
Tak ingin membuat perasaan kakek yang menolongnya itu tersakiti, buru-buru ia sembunyikan keraguan dan kebingungannya. Tetapi, rupanya pandangan mata sang kakek itu tak bisa disilapkan. Kakek itu sangat mengetahui betul apa yang disimpan dalam hati pemuda itu.
Kakek itu tersenyum. Lantas, ia berkata, "Anakku, kau tak mungkin bisa menyembunyikan keraguanmu itu dariku, Nak. Karena di darahmu, ada darah al Jailani yang mengalir. Dan, akulah datukmu, Abdul Qadir."
Mendadak, pemuda itu tersentak. Ia benar-benar tak menyangka, jika kakek yang menolongnya adalah Syekh Abdul Qadir al Jailani. Dan, yang lebih membuatnya tak menduga-duga, bahwa ia adalah keturunan dari Syekh Abdul Qadir al Jailani. Lekas ia bersimpuh di pangkuan datuknya.
Syekh Abdul Qadir al Jailani pun menyambut dengan pelukan. Lantas, dengan nada lembut, ia berkata, "Ingat baik-baik, Anakku. Di mana pun kau berada, mintalah bantuan kepada datukmu ini, bukan kepada Syeikh Ahmad Al Badawi. Karena di darahmu masih mengalir darah al Jailani."
Mendengar kata-kata itu, pemuda yang berayah seorang alim itu bercucuran air mata. Rasa haru menyeruak di dalam batinnya. Sesaat kemudian, ia memandang wajah datuknya. Sesaat itu pula bayangan wajah datuknya menghilang.
Betapa, dari kisah ini dapat kita petik hikmah, bahwa sesungguhnya hubungan darah di antara orang-orang yang mulia tidak akan putus. Untuk itu, mendoakan orang tua dan orang-orang yang telah mendahului kita menjadi salah satu cara terbaik untuk mempertahankan ikatan pertalian darah di antara kita dengan leluhur kita. Sebagaimana yang dikisahkan Sayid Muhammad Amin bin Amin ad Duhaibi al Jailani. Kisah ini, kisah nyata yang didapat dari orang tua dan kakek-kakek beliau.