Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Pertalian Darah Orang-orang Mulia yang Tak Kenal Putus

1 Januari 2022   03:47 Diperbarui: 1 Januari 2022   03:52 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Syekh Abdul Qadir al JailaniSumber foto: kalam.sindonews.com

Nama Syekh Abdul Qadir al Jailani ra, bagi sebagian besar umat Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, sudah sangat lekat di telinga. Apalagi, manakib beliau kerap dibaca, bahkan menjadi salah satu tradisi yang hingga kini masih dilestarikan. Namun, bagaimana jika kisah tentang sultannya para aulia, kelahiran Kurdistan Selatan ini dituturkan oleh keturunan beliau?

Tentu, kesan yang tertangkap akan jauh berbeda. Lebih mendalam dan semakin membuat kita akan merasa dekat dengan beliau. Seperti malam itu, Kamis (30/12/2021), di Majelis Taklim Al Maliki Pekalongan, tepatnya di Aula Kajoran, saya benar-benar merasakan keberuntungan yang luar biasa.

Di antara rinai gerimis yang membawa hawa sejuk, saya duduk di antara para jamaah Majelis Taklim Al Maliki. Saya saksikan, semua yang hadir tampak takzim menyimak kisah tentang Syekh Abdul Qadir al Jailani ra yang dituturkan langsung oleh salah seorang keturunan beliau, Sayid Muhammad Amin bin Amin ad Duhaibi al Jailani dari Lebanon. Dalam bahasa Arab, beliau berkisah tentang pertemuan seorang pemuda dengan Syekh Abdul Qadir al Jailani di sebuah perjalanan.

Beliau, Sayid Amin, memulai kisahnya dari sebuah perjalanan hidup seorang pemuda yang sangat mendambakan agar ia berkesempatan menziarahi makam Rasulullah saw di Madinah dan mencium hajar aswad di dekat Ka'bah. Keinginan itu tentu didorong oleh rasa cinta pemuda itu kepada Rasulullah saw. Ia bahkan tak ingin melewatkan waktunya untuk selalu mencari kabar tentang kabilah yang akan pergi ke Mekah untuk berhaji dan berziarah ke makam Rasulullah saw.

Pada suatu siang yang dihujani terik cahaya matahari, ia mendapati serombongan kabilah yang tengah melakukan perjalanan. Pemuda itu mendekat dan menanyakan hendak kemana mereka pergi. Begitu ia tahu, jika kabilah itu hendak ke Mekah, wajah pemuda itu tampak berbinar-binar. Seolah ia menemukan oase di tengah padang pasir di saat musim panas.

Saking semangatnya, lekas-lekas ia meminta izin agar dapat bergabung dalam rombongan. Ia tak ingin melewatkan kesempatan emas ini. Sayang, rombongan kabilah itu sudah penuh. Tidak seekor pun unta tersisa untuk pemuda itu.

Namun anehnya, bukannya ia merasa putus asa, pemuda itu tetap memaksa agar ia diizinkan ikut dalam rombongan. Ia bahkan tak keberatan jika memang harus berjalan kaki. Walau perjalanan yang ditempuh sangat jauh dan medannya sangat berat. Melewati tanah-tanah berbatu yang tandus, lembah-lembah yang kering, dengan udara panas yang teramat ketika siang, dan dingin yang tak tertahan ketika malam tiba.

Melihat tekad pemuda itu, pimpinan rombongan kabilah pun akhirnya memberi izin. Tetapi, dengan satu syarat, ia tak boleh menjadi beban rombongan. Ia tak boleh merepotkan rombongan. Pemuda itu menyanggupi.

Berangkatlah rombongan kabilah itu menuju Mekah al Mukaramah. Di sepanjang perjalanan, pemuda itu berjalan kaki di antara unta-unta yang berbaris rapi. Hanya ia yang berjalan kaki.

Dengan beralas bakiak, pemuda itu sangat bersemangat melakukan perjalanan. Apalagi didorong oleh rasa cintanya yang menggebu kepada Baginda Rasulullah saw. Keringnya tenggorokan tak menghalanginya untuk menempuh perjalanan. Panasnya udara tak juga mengurangi semangatnya. Bahkan, hempasan debu yang melekat pada wajah dan bagian tubuh lain yang terbuka tak memberatkan niatnya untuk terus melangkahkan kaki. Yang ia rasakan, hanyalah kebahagiaan tak terkira. Menjemput cintanya yang telah lama ia rindukan.

Tetapi, saking lamanya ia berjalan, kulit pada sela-sela jari kaki, punggung kaki, dan telapak kakinya tampak mulai lecet dan berdarah. Luka lecet itu terasa makin perih manakala bercampur debu dan pasir. Dan, semakin kulitnya bergesekan dengan bakiak, perih yang ia rasakan semakin menjadi-jadi.

Ia pun akhirnya memilih menghentikan perjalanannya. Tetapi, karena ia menghormati kesepakatan sebelumnya, ia tak keberatan jika rombongan kabilah itu melanjutkan perjalanan dan meninggalkannya sendirian di tanah gersang itu. Ia lantas berteduh di bawah sebatang pohon. Duduk menyandarkan tubuhnya. Ia pandangi kabilah itu. Lama-lama bayangan mereka menghilang dari pandangan matanya.

Di tengah kesendirian, pemuda itu merasakan sepi yang teramat. Di saat itu pula, ia merasa dirinya sebagai seorang pendosa. Sampai-sampai, ia berpikir, apakah karena ada dosa-dosa yang melekat pada jiwanya, sehingga kota suci Mekah menolaknya untuk datang. Padahal, betapa besar harapannya untuk bisa mencium pusara makam Rasulullah saw. Ia merenung sejenak, memikirkan cara terbaik apa yang bisa ia lakukan untuk menebus dosa-dosa itu, sehingga Mekah akan menerima dan membukakan pintu untuknya.

Sejak itu, hatinya, lisannya, dan pikirannya tak henti-hentinya memanjatkan doa permohonan ampunan. Ia pun bertawasul kepada shahibul wilayah yang kala itu dinisbatkan kepada Syekh Ahmad al Badawi. Lewat tawasulnya itu, ia memohon bantuan, agar Allah swt memberinya petunjuk dan kemudahan.

Dalam keadaan lelah yang tak tertahankan, pemuda itu terus saja berdoa. Berulang-ulang ia mengucapkan doa, baik dalam hati, lisan, dan pikirannya. Namun, keadaan badannya yang payah membawa pemuda itu tak kuasa melawan rasa kantuk. Kedua bola matanya makin redup. Perlahan pula memejam dan tubuhnya merebah.

Tidurnya begitu pulas, sampai-sampai ia tak menyadari kedatangan seorang tua yang menuntun seekor unta. Di dekat pohon tempat pemuda itu tertidur, orang tua itu berhenti. Lalu, ia bangunkan pemuda itu dari tidurnya.

"Bangunlah, Nak. Bangun," ucap orang tua itu sembari menepuk pundak pemuda itu.

Tak berapa lama, tubuh pemuda itu bergerak. Lalu, matanya perlahan mulai terbuka. Dilihatnya, seorang kakek yang tersenyum padanya.

"Syukurlah, akhirnya kau bangun," kata kakek itu. Lantas, ia memberikan kirbatnya. "Kau pasti haus. Ini, minumlah."

Pemuda itu segera menyambut kirbat itu dan meminum seteguk. "Terima kasih, Kek," ucap pemuda itu selepas ia meminum air dari kirbat milik kakek itu.

"Nak, boleh aku tanya sesuatu?" tanya kakek itu sambil menempatkan diri duduk di samping pemuda itu.

"Silakan, Kek," balas pemuda itu.

"Dari pakaianmu, juga dari caramu bicara, kalau aku tidak salah tangkap, kau pasti dari jauh," kata kakek itu menebak-nebak.

Pemuda itu mengangguk.

"Lantas, bagaimana kau bisa sampai di sini? Dan, apa yang sesungguhnya kau lakukan di sini?" tanya kakek itu lagi.

Pemuda itu pun akhirnya menceritakan apa saja yang dialaminya sejak awal perjalanan hingga ia tertidur di bawah pohon itu. Semua, ia ceritakan. Tak kurang dan tak lebih.

Mendengar cerita pemuda itu, kakek itu merasa iba. Ia menaruh rasa belas kasih pada pemuda itu. "Lalu, apa yang akan kau lakukan setelah kau merasa gagal menempuh perjalananmu ini?" tanya kakek itu dengan nada yang lembut.

"Aku akan terus melanjutkan perjalananku ini, Kek. Aku ingin menziarahi makam orang yang sangat aku cintai, makam Rasulullah saw. Dan aku sangat ingin berada di dekat Ka'bah agar bisa mencium hajar aswad, Kek," jawab pemuda itu.

"Dengan kondisi tubuhmu yang begitu, apa mungkin?" sergah sang kakek.

"Apapun kondisi yang aku alami, Kek. Aku harus bisa sampai ke Madinah dan Mekah," balas pemuda itu.

"Tidak. Kau jangan memaksakan diri, Nak. Itu tak baik untukmu. Ini, kau boleh naik untaku ini," usul kakek itu.

"Terus, bagaimana dengan Kakek?" tanya pemuda itu agak ragu-ragu.

"Kita naik unta bersama ke tempat-tempat yang ingin kau ziarahi," jawab kakek itu menegaskan.

Kakek itu segera menaiki punggung untanya. Ia mengulurkan tangan, tanda bahwa ia serius memberikan tawaran. Pemuda itu pun segera menyambut tangan kakek itu dan menaiki punggung unta.

Perjalanan pun berlanjut. Pemuda itu sedikit lega menerima bantuan dari kakek itu. Paling tidak, ia bisa bernapas lega dan tidak harus meradang karena rasa sakit yang dideritanya.

Di tengah perjalanan, pemuda itu mulai merasakan kantuk yang teramat berat. Tak sanggup menahan kantuknya, pemuda itu tertidur pulas di atas punggung unta milik kakek yang baik hati itu. Dan, entah dengan cara apa, perjalanan dengan unta itu terasa begitu singkat. Pemuda yang tertidur itu baru saja merasakan tidurnya yang nyenyak. Tetapi, sang kakek tiba-tiba saja membangunkannya.

"Bangunlah, Nak. Kita sudah sampai di tempat tujuanmu," kata Kakek itu.

Pemuda itu terbangun. Saat membuka matanya, ia seperti tak percaya, jika ia telah berada di Kota Madinah, di dekat makam Rasulullah saw. Padahal, tidur yang baru ia rasakan, belum sampai sehari penuh.

Tak ingin membuat perasaan kakek yang menolongnya itu tersakiti, buru-buru ia sembunyikan keraguan dan kebingungannya. Tetapi, rupanya pandangan mata sang kakek itu tak bisa disilapkan. Kakek itu sangat mengetahui betul apa yang disimpan dalam hati pemuda itu.

Kakek itu tersenyum. Lantas, ia berkata, "Anakku, kau tak mungkin bisa menyembunyikan keraguanmu itu dariku, Nak. Karena di darahmu, ada darah al Jailani yang mengalir. Dan, akulah datukmu, Abdul Qadir."

Mendadak, pemuda itu tersentak. Ia benar-benar tak menyangka, jika kakek yang menolongnya adalah Syekh Abdul Qadir al Jailani. Dan, yang lebih membuatnya tak menduga-duga, bahwa ia adalah keturunan dari Syekh Abdul Qadir al Jailani. Lekas ia bersimpuh di pangkuan datuknya.

Syekh Abdul Qadir al Jailani pun menyambut dengan pelukan. Lantas, dengan nada lembut, ia berkata, "Ingat baik-baik, Anakku. Di mana pun kau berada, mintalah bantuan kepada datukmu ini, bukan kepada Syeikh Ahmad Al Badawi. Karena di darahmu masih mengalir darah al Jailani."

Mendengar kata-kata itu, pemuda yang berayah seorang alim itu bercucuran air mata. Rasa haru menyeruak di dalam batinnya. Sesaat kemudian, ia memandang wajah datuknya. Sesaat itu pula bayangan wajah datuknya menghilang.

Betapa, dari kisah ini dapat kita petik hikmah, bahwa sesungguhnya hubungan darah di antara orang-orang yang mulia tidak akan putus. Untuk itu, mendoakan orang tua dan orang-orang yang telah mendahului kita menjadi salah satu cara terbaik untuk mempertahankan ikatan pertalian darah di antara kita dengan leluhur kita. Sebagaimana yang dikisahkan Sayid Muhammad Amin bin Amin ad Duhaibi al Jailani. Kisah ini, kisah nyata yang didapat dari orang tua dan kakek-kakek beliau.

Pekalongan, 1 Januari 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun