Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Batik Pesisir Pekalongan dan Filosofi Wani Ngalah

28 September 2021   23:40 Diperbarui: 30 September 2021   02:45 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalaupun menang, itu semata-mata hadiah atas kegigihan pendekar ini di dalam mengolah kanuragan, mengolah batin, mengolah jiwa, dan mengolah rasa. Bukan karena ia sakti, sebab kesaktian bukanlah yang esensial.

Mengapa begitu? Karena sesungguhnya kesaktian itu tidak ada. Kesaktian hanyalah bagian kecil dari sebuah proses panjang, bukan capaian, bukan hasil akhir. Tetapi, kesaktian kerap kali disalahtafsirkan sebagai sesuatu yang paripurna, sesuatu yang sejati, yang telah tuntas. Padahal, kesaktian itu berada di wilayah anggapan.

Seseorang digelari, disandangi, dijuluki, disebut, dianggap, dikatakan sakti karena dipandang memiliki kemampuan yang berbeda dengan lainnya, kemampuan di atas rata-rata. Padahal, bisa saja di waktu yang lain, ia tidak dapat memanfaatkan kemampuannya yang di atas rata-rata itu. 

Atau pula, pada saat tertentu ia menghadapi orang yang memiliki kemampuan yang berbeda dan ia tidak mampu menandinginya karena ia keliru menerapkan strategi. Maka, ia pun bisa jatuh dan kalah di saat-saat tertentu. 

Lalu, ketika ia kalah masihkah berlaku hukum kesaktian itu pada orang itu? Sudah tentu, kekalahan akan menciderai citranya sebagai seorang pendekar. Memperburuk reputasinya. Saat itu pula, gelar sakti dicopot. Gelar sakti tidak lagi disandangkan padanya.

Dari sini tampak bahwa kesaktian hanya soal cara orang memandang orang lain yang dianggap memiliki kemampuan di atas orang kebanyakan. 

Artinya, kesaktian hanya atribut bukan sesuatu yang sudah menetap. Karenanya, pencapaian yang diraih rakyat negeri batik di dalam memenangi sayembara itu harus kita lihat sebagai dampak, sebagai hadiah atas kegigihannya, atas sikap wani ngalah-nya.

Lalu, apa itu wani ngalah? Secara harfiah, istilah wani ngalah diterjemahkan sikap berani mengalah atau berani mengakui dan menjadi yang kalah. Namun, bagi saya, penerjemahan yang demikian tampaknya masih perlu dikaji lebih dalam. 

Sebab, ada keterbatasan yang teramat sempit pada bahasa Indonesia di dalam menangkap makna idiom-idiom bahasa Jawa. Alhasil, spektrum makna menjadi sempit dan kurang mendalam.

Sekarang, mari saya ajak sampeyan untuk menyelami idiom yang sederhana ini. Ya, wani ngalah.

Wani bermakna sikap berani, atau gagah, perkasa. Artinya, di dalam sikap berani itu ada kegagahan dan keperkasaan. Gagah karena sikap berani menunjukkan perilaku yang bernas, tidak menjadi setengah-setengah, tidak ragu-ragu, tidak ingah-ingih. Tetapi, memunculkan sikap yang mantap. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun