Kalaupun menang, itu semata-mata hadiah atas kegigihan pendekar ini di dalam mengolah kanuragan, mengolah batin, mengolah jiwa, dan mengolah rasa. Bukan karena ia sakti, sebab kesaktian bukanlah yang esensial.
Mengapa begitu? Karena sesungguhnya kesaktian itu tidak ada. Kesaktian hanyalah bagian kecil dari sebuah proses panjang, bukan capaian, bukan hasil akhir. Tetapi, kesaktian kerap kali disalahtafsirkan sebagai sesuatu yang paripurna, sesuatu yang sejati, yang telah tuntas. Padahal, kesaktian itu berada di wilayah anggapan.
Seseorang digelari, disandangi, dijuluki, disebut, dianggap, dikatakan sakti karena dipandang memiliki kemampuan yang berbeda dengan lainnya, kemampuan di atas rata-rata. Padahal, bisa saja di waktu yang lain, ia tidak dapat memanfaatkan kemampuannya yang di atas rata-rata itu.Â
Atau pula, pada saat tertentu ia menghadapi orang yang memiliki kemampuan yang berbeda dan ia tidak mampu menandinginya karena ia keliru menerapkan strategi. Maka, ia pun bisa jatuh dan kalah di saat-saat tertentu.Â
Lalu, ketika ia kalah masihkah berlaku hukum kesaktian itu pada orang itu? Sudah tentu, kekalahan akan menciderai citranya sebagai seorang pendekar. Memperburuk reputasinya. Saat itu pula, gelar sakti dicopot. Gelar sakti tidak lagi disandangkan padanya.
Dari sini tampak bahwa kesaktian hanya soal cara orang memandang orang lain yang dianggap memiliki kemampuan di atas orang kebanyakan.Â
Artinya, kesaktian hanya atribut bukan sesuatu yang sudah menetap. Karenanya, pencapaian yang diraih rakyat negeri batik di dalam memenangi sayembara itu harus kita lihat sebagai dampak, sebagai hadiah atas kegigihannya, atas sikap wani ngalah-nya.
Lalu, apa itu wani ngalah? Secara harfiah, istilah wani ngalah diterjemahkan sikap berani mengalah atau berani mengakui dan menjadi yang kalah. Namun, bagi saya, penerjemahan yang demikian tampaknya masih perlu dikaji lebih dalam.Â
Sebab, ada keterbatasan yang teramat sempit pada bahasa Indonesia di dalam menangkap makna idiom-idiom bahasa Jawa. Alhasil, spektrum makna menjadi sempit dan kurang mendalam.
Sekarang, mari saya ajak sampeyan untuk menyelami idiom yang sederhana ini. Ya, wani ngalah.
Wani bermakna sikap berani, atau gagah, perkasa. Artinya, di dalam sikap berani itu ada kegagahan dan keperkasaan. Gagah karena sikap berani menunjukkan perilaku yang bernas, tidak menjadi setengah-setengah, tidak ragu-ragu, tidak ingah-ingih. Tetapi, memunculkan sikap yang mantap.Â