Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Batik Pesisir Pekalongan dan Filosofi Wani Ngalah

28 September 2021   23:40 Diperbarui: 30 September 2021   02:45 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ngalah juga bisa bermakna kepasrahan yang esensial. Kepasrahan yang sangat indah di hadapan Yang Maha Indah. Sebagaimana diterjemahkan oleh para wali, kata ngalah didudukkan sebagai idiom yang terdiri atas dua kata 'nga' dan 'Allah'. 

'Nga' bermakna menuju pada. Maka kata ngalah bermakna menuju pada Allah alias berserah diri. Di dalamnya tersirat pula kesungguhan. Di dalam kesungguhan itu sendiri ada kesanggupan untuk menjadi tidak ada dan tidak diperhitungkan.

Jika demikian, wani ngalah bisa saja diartikan sebagai sikap sadar atas pilihannya untuk menyanggupi diri menjadi tidak dianggap ada atau bahkan dianomalikan. Lebih dari itu, ia akan menjadi dialienasikan dari sosial.

Demikian pula yang dilakukan rakyat negeri batik. Ketika muncul cetusan slogan membatik dunia, sontak itu menjadi gunjingan, karena dianggap mustahil dilakukan. Ada pula yang beranggapan itu terlalu mengada-ada, atau pula dianggap sebagai umuk (omong besar). 

Pada saat itu, bukan tidak mungkin cibiran akan bermunculan. Tetapi, di saat bersamaan, rakyat negeri batik sebenarnya---tanpa sadar---tengah menghancurkan dirinya sehancur-hancurnya. Rela dianggap aneh, diremehkan, dianomalikan, dicibir, sampai-sampai dianggap tidak ada.

Kendati demikian, tidak ada yang menyangka jika umuk-nya rakyat negeri batik dapat direalisasikan. Itu semua karena wani ngalah-nya. 

Ya, spirit of umuk-nya rakyat negeri batik bukan spirit omong besar, melainkan spirit of wani ngalah. Tujuannya, tidak lain adalah membangun apa yang mereka sebut sebagai rahat. Kesukacitaan, kegembiraan yang bisa dirasakan bersama-sama tanpa memandang kelas, status sosial, maupun lain-lainnya.

Di sinilah, rahat kemudian menampakkan diri sebagai energi positif. Ia menjadi pusat gravitasi yang memancarkan energi positif kepada siapa saja. 

Ia menjadi panggilan bagi siapa saja yang ada di dalam lingkaran negeri batik. Dan ketika lingkaran ini digerakkan, seperti sebuah kumparan pada trafo, ia mampu memercikkan bunga api yang jika diproduksi secara kontinu dan intens akan menghasilkan nyala cahaya. Teranglah dunia. Teranglah wajah-wajah muram itu menjadi sumringah.

Rakyat negeri batik adalah rakyat yang rahat. Rakyat yang tak mengenal istilah menyerah. Rakyat yang sesungguhnya sangat bermartabat. Dunia mereka batik, bahkan semesta sekalipun.

Baca juga:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun