Oleh sebab itu, di dalam keberanian pula terdapat keperkasaan yang menunjukkan sikap teguh, kukuh, kuat, dan yakin.
Jika demikian, modal menjadi wani itu adalah keteguhan pada apa yang menjadi keyakinannya, yaitu kebenaran.Â
Sedang kebenaran itu sendiri adalah perihal yang mesti ditemukan dan diuji terus-menerus. Diproses terus, tanpa henti. Sementara untuk dapat menemukan dan mengujinya kita butuh perangkat yang namanya kesadaran.Â
Kesadaran ibarat laboratorium yang terus bekerja tanpa henti. Ia bukan semata-mata keadaan yang telah paripurna, melainkan keadaan yang mesti dilangsungkan secara berkesinambungan dan berkelanjutan, kontinuitas. Ia menjadi geliat yang terus-menerus ditumbuhkan oleh peristiwa-peristiwa yang berseliweran.Â
Dari itu pula dapat kita pahami bahwa untuk menjadi sadar diperlukan pengetahuan-pengetahuan sebagai alat bantu, bukan yang menentukan takaran benar salah. Sebaliknya, di dalamnya terdapat tanggung jawab atas penggunaan pengetahuan itu sebagai alat.
Betapa kompleks makna kata yang sederhana dan terkesan mudah diucapkan ini. Wani tidak sekadar menjadi berani. Akan tetapi mencakupi dimensi keyakinan, kebenaran, kesadaran, pengetahuan, dan juga tanggung jawab.Â
Dimensi-dimensi ini mesti terus ditempa setiap saat. Diuji berkali-kali sampai pada akhirnya menjadi tindakan nyata, sehingga wani tidak menjadi sebuah tindakan yang asal, tanpa dasar pondasi yang kuat dan mantap.
Di pihak lain, kata wani juga kerap dikonotasikan sebagai sikap melawan, tidak taat, atau pembangkangan. Saya kira, pengkonotasian ini terlalu buru-buru, sebab di dalam wani ada hal-hal yang amat prinsipil. Orang menjadi wani karena ia memiliki bekal yang cukup dan mendasar. Syarat untuk menjadi wani itu adalah ia benar-benar harus sanggup mengalahkan dirinya sendiri, melawan dirinya sendiri. Sebab, wani tidak untuk gagah-gagahan. Tetapi, sebaliknya ia harus siap menjadi hancur sehancur-hancurnya. Menjadi tidak ada, menjadi tidak hadir.
Ya! Di dalam wani harus ada sikap ngalah, yaitu sikap mau, sanggup, dan bersedia untuk menerima, menjadi yang dikalahkan. Sekalipun kekalahan itu bukan karena benar-benar kalah.Â
Karenanya, kalah di dalam ngalah itu bukan suatu keadaan jadi, melainkan suatu wujud sikap yang sekaligus mencerminkan sifat mulia.Â
Kalah di dalam ngalah bukan kalah melawan pihak lain, melainkan sebagai tindakan yang memilih untuk mengalahkan diri sendiri. Mengalahkan keinginan, hasrat, nafsu, ego, dan segala yang bisa membuat diri lengah.