Mereka kemudian membatik bersama-sama di jalanan.  Peristiwa ini bahkan menjadi catatan rekor yang terdokumentasi di Guinnes Book World sebagai penyelenggaraan Festival Batik terpanjang di dunia.
Sedang peristiwa ketiga, tidak lain adalah pengakuan UNESCO terhadap batik sebagai salah satu warisan budaya dunia tak benda pada tanggal 2 Oktober 2014.Â
Pengakuan UNESCO ini tidak lepas dari peran besar inisiasi pembatik Pekalongan yang kala itu berusaha mengembalikan kedaulatan batik sebagai kedaulatan rakyat Pekalongan, kedaulatan bangsa Indonesia.Â
Apalagi saat itu bangsa Malaysia tengah gencar main klaim, bahwa batik adalah bagian dari kebudayaan mereka. Geram dengan sikap Malaysia, rakyat Pekalongan pun bertindak.Â
Hingga pada akhirnya, UNESCO pun mengakui batik Indonesia sebagai batiknya dunia. Sejak itu pula tanggal 2 Oktober ditetapkan sebagai hari Batik Nasional.
Ya! Pekalongan membatik dunia. Juga membatik semesta!
Tentu, capaian itu mustahil diraih tanpa kerja keras dan usaha cerdas dari rakyat Pekalongan. Namun, kerja keras dan usaha cerdas itu menjadi modal yang cukup? Tentu tidak.Â
Dibutuhkan keikhlasan dan kerelaan yang super ekstra. Sikap ikhlas inilah yang sejatinya mampu menuntun rakyat Pekalongan pada capaian itu. Sikap ikhlas ini pula yang mampu mengantarkan rakyat Pekalongan menjadi berdaulat.
Jika demikian, rakyat Pekalongan adalah rakyat yang tahan banting. Rakyat yang telah teruji kesabarannya. Rakyat pilihan! Mereka tidak mengeluhkan kondisi dan situasi sosial politik, juga situasi ekonomi yang kerap naik-turun. Mereka tahu, situasi ekonomi yang begitu tidak lain hanya sebuah tipuan dunia. Mereka sudah melek dunia.
Yang lebih ekstremnya, sekalipun mereka diinjak-injak oleh produk-produk politik hasil kompromi antara eksekutif dan legislatif, mereka tetap mampu bertahan dan tetap bersedia memberi yang terbaik bagi negerinya.Â
Bagi bangsanya. Dan di sana pula secara implisit terkandung makna persembahan bagi Gusti Allah, Sang Maha Segalanya, Sang Maha Memberi.