Keberadaan pelabuhan besar yang selalu dipenuhi armada kapal dagang dari berbagai negara menjadikan Pekalongan dianggap sebagai kawasan yang sangat vital bagi perdagangan dunia.Â
Demikian pula diakui Wang Dahai, seorang sarjana kebangsaan Tiongkok abad ke 18, bahwa Pekalongan menjadi kawasan yang sangat menyenangkan. Untuk itu pula, ia memilih tinggal di Pekalongan lebih lama dibandingkan di Semarang atau Jakarta (Batavia).
Sementara bagi Anton E. Lucas, Pekalongan merupakan kawasan semai bagi tumbuh kembangnya organisasi-organisasi pergerakan dan organisasi masyarakat. Nyaris semua organisasi maupun partai politik tumbuh subur di sini.Â
Ya, boleh diibaratkan bahwa Pekalongan merupakan laboratorium bagi pembiakan organisasi maupun partai-partai politik. Bahkan dua ormas terbesar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah, justru mampu bertumbuh dengan baik di kawasan ini. Konon pula, kawasan ini merupakan tempat bertemunya para auliya, ulama-ulama besar, maupun para wali tanah Jawa.
Tak heran pula jika kota kecil ini mampu melahirkan tokoh-tokoh nasional. Sebut saja, Taufik Ismail, Ebit G. Ade, W.S. Rendra, Ridaka, Gunawan Mohamad, Ali Moertopo, Pak Hoegeng, Ali Said, dan sejumlah nama lainnya. Mereka ditempa di sini, hingga benar-benar menjadi besar dan membesarkan bangsa ini.
Sungguh, betapa besar sedekah rakyat Pekalongan kepada Indonesia. Bahkan, melalui batik, rakyat Pekalongan mampu menyedekahkan segenap jiwa, raga, tenaga, dan pikirannya untuk Indonesia. Setidaknya tercatat dalam sejarah, tiga peristiwa penting yang mampu mengungkap sedekah rakyat negeri batik ini untuk Indonesia.
Peristiwa pertama, seperti yang dituturkan Kang Dirham, terjadi di era orde lama. Kala itu, sejumlah pengusaha batik yang membangun koperasi batik (GKBI) menemui Soekarno dan mendorong pemerintah agar membuat kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat.Â
Pemerintah didesak agar memberi keleluasaan bagi pengusaha lokal untuk bisa menentukan harga pasar bahan baku batik. Ketika itu, Presiden pertama RI yang penuh pesona itu mengamini keinginan tersebut. Tetapi, ada syarat yang mesti dipenuhi, yaitu sumbangan pengusaha batik kepada negara.
Dari pertemuan itu, para pengusaha batik yang tergabung dalam GKBI pun menyepakati untuk urunan. Tidak main-main, urunan mereka pun mencapai angka yang fantastis dalam hitungan masa itu.Â
Sejumlah 16,7 miliyar rupiah berhasil mereka himpun. Dan dari jumlah itu mereka pun menyedekahkan urunan itu kepada negara dengan pendirian Planetarium, sebuah gedung yang menjadi wahana belajar tentang dunia antariksa.
Peristiwa kedua terjadi pada tahun 2005. Kala itu sejumlah pengusaha batik bersatu padu untuk mewujudkan impian mereka, membatik dunia! Selembar kain mori sepanjang 1.200 meter dibentangkan. Ratusan hingga ribuan orang pun dihimpun.Â