Bupati Pekalongan, Fadia Arafiq, yang mewajibkan ASN pakai jins. Kenapa? Karena saya termasuk orang yang nggak nyaman kalau pakai celana kain katun atau sejenisnya. Saya lebih nyaman memakai celana jins atau sarung. Nggak harus sarung batik sih. Sarung palaikat pun oke.
Terus terang, saya menjadi salah seorang yang menyambut gembira atas gagasanTapi, bukan itu alasan saya menulis artikel ini. Yang ingin saya sampaikan di sini berkenaan dengan stereotipe yang diberikan atas kain jins. Entah, dari mana awalnya kesan kurang enak didengar itu muncul. Yang pernah saya baca, sebuah berita pernah menayangkan bagaimana seorang Menteri dikritik habis-habisan gegara pakai celana jins saat menghadiri sebuah acara di suatu institusi kenamaan di negeri ini.
Selain Mas Menteri itu, pernah pula peristiwa serupa terjadi di negeri Paman Sam. Kala itu, Pak Jimmy Carter, Presiden USA ke-39, melenggang santai di Gedung Putih dengan celana jinsnya. Sontak, tindakan itu menuai beragam komentar. Rata-rata memandang hal itu dengan pandangan sinis.
Sebagian besar, menganggap tindakan itu sebagai pelanggaran atas nilai kesopanan. Alasan lain, celana jins nggak boleh dipakai di acara-acara resmi atau untuk keperluan formal. Dengan kata lain, celana jins belum bisa diterima sebagai salah satu pakaian yang "diresmikan". Pertanyaannya kemudian, mengapa bisa begitu?
Ada beberapa kemungkinan untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama, berkenaan dengan sejarah celana jins itu sendiri. Seperti yang kita mafhumi, abad XIX merupakan awal kemunculan celana jins. Adalah Levi Strauss yang mula-mula merancang jenis kain denim itu. Awalnya, ia mendesain jins khusus untuk memenuhi kebutuhan pekerja tambang.
Tentu, kita tahu, pada abad itu pekerja tambang---di Amerika khususnya---biasanya dikonotasikan sebagai budak. Atau pula para pembangkang yang ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa. Lalu, mereka dipekerjakan untuk menambang batu bara atau bahan-bahan mineral lainnya yang dibutuhkan pemerintahan kolonial pada waktu itu.
Niatnya sih bukan sekadar memberi para pembangkang itu pekerjaan, melainkan pula sebagai bentuk hukuman buat mereka yang membangkang. Sebab, para penguasa tahu kalau pekerja tambang kala itu jenis pekerjaan yang risikonya teramat besar. Tak hanya menderita sakit, nyawa mereka pun jadi taruhan.
Selain mereka harus menggali tanah dan memasuki lorong-lorong hingga ratusan bahkan berkilo-kilo meter dalamnya, teknologi yang mereka gunakan juga sangat sederhana. Rentan untuk tertimpa longsoran tanah dan risiko-risiko lain yang bisa membuat nyawa mereka melayang. Saat itu faktor keamanan dan keselamatan kerja sama sekali nggak dijamin. So, menjadi pekerja tambang kala itu digambarkan sebagai siksaan neraka di dunia. Lebih-lebih di bawah pengawasan para mandor yang super galak.
Sekelumit masa lalu celana jins ini barangkali saja memberi gambaran betapa waktu itu celana jins dipandang sebagai pakaian orang-orang rendahan. Oleh para tuan, orang yang mengenakan pakaian jins pun dipandang rendah, sekalipun sama-sama bangsawan. Sebab, seorang bangsawan tidak boleh menyamakan dirinya dengan para budak mereka.
Seorang Baron (tuan tanah/bangsawan) mesti mengenakan pakaian kebesarannya sesuai dengan aturan main berpakaian yang berlaku. Jika tidak, ia bisa saja dikucilkan dari kelompok bangsawan. Bahkan, dianggap tidak memiliki harga diri sama sekali.
Saya curiga, stereotip terhadap celana jins atau pakaian berbahan jins itu merupakan keberhasilan para tuan menanamkan sikap adigang adigung adiguna. Bahwa para tuan ini adalah orang-orang terhormat yang tidak boleh sedikit pun pakaiannya ternodai oleh sentuhan dari kaum budak, kaum pekerja. Mereka bahkan tidak boleh berbicara dengan kaum budak yang mereka anggap rendah dan tak berpendidikan. Bahkan, yang lebih jahat lagi, mereka---para tuan itu---menganggap kaum budak sebagai kelompok primitif yang amoral.