Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bergembira atas Kebijakan Bupati Pekalongan tentang Celana Jins sebagai Pakaian Resmi ASN

24 September 2021   15:22 Diperbarui: 25 September 2021   00:49 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendikbud RI, Nadiem Makarim, pakai celana jeans saat menghadiri pelantikan Rektor UI (2019). Sumber foto: inet.detik.com (dok. Universitas Indonesia)

Terus terang, saya menjadi salah seorang yang menyambut gembira atas gagasan Bupati Pekalongan, Fadia Arafiq, yang mewajibkan ASN pakai jins. Kenapa? Karena saya termasuk orang yang nggak nyaman kalau pakai celana kain katun atau sejenisnya. Saya lebih nyaman memakai celana jins atau sarung. Nggak harus sarung batik sih. Sarung palaikat pun oke.

Tapi, bukan itu alasan saya menulis artikel ini. Yang ingin saya sampaikan di sini berkenaan dengan stereotipe yang diberikan atas kain jins. Entah, dari mana awalnya kesan kurang enak didengar itu muncul. Yang pernah saya baca, sebuah berita pernah menayangkan bagaimana seorang Menteri dikritik habis-habisan gegara pakai celana jins saat menghadiri sebuah acara di suatu institusi kenamaan di negeri ini.

Selain Mas Menteri itu, pernah pula peristiwa serupa terjadi di negeri Paman Sam. Kala itu, Pak Jimmy Carter, Presiden USA ke-39, melenggang santai di Gedung Putih dengan celana jinsnya. Sontak, tindakan itu menuai beragam komentar. Rata-rata memandang hal itu dengan pandangan sinis.

Sebagian besar, menganggap tindakan itu sebagai pelanggaran atas nilai kesopanan. Alasan lain, celana jins nggak boleh dipakai di acara-acara resmi atau untuk keperluan formal. Dengan kata lain, celana jins belum bisa diterima sebagai salah satu pakaian yang "diresmikan". Pertanyaannya kemudian, mengapa bisa begitu?

Ada beberapa kemungkinan untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama, berkenaan dengan sejarah celana jins itu sendiri. Seperti yang kita mafhumi, abad XIX merupakan awal kemunculan celana jins. Adalah Levi Strauss yang mula-mula merancang jenis kain denim itu. Awalnya, ia mendesain jins khusus untuk memenuhi kebutuhan pekerja tambang.

Tentu, kita tahu, pada abad itu pekerja tambang---di Amerika khususnya---biasanya dikonotasikan sebagai budak. Atau pula para pembangkang yang ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa. Lalu, mereka dipekerjakan untuk menambang batu bara atau bahan-bahan mineral lainnya yang dibutuhkan pemerintahan kolonial pada waktu itu.

Niatnya sih bukan sekadar memberi para pembangkang itu pekerjaan, melainkan pula sebagai bentuk hukuman buat mereka yang membangkang. Sebab, para penguasa tahu kalau pekerja tambang kala itu jenis pekerjaan yang risikonya teramat besar. Tak hanya menderita sakit, nyawa mereka pun jadi taruhan.

Selain mereka harus menggali tanah dan memasuki lorong-lorong hingga ratusan bahkan berkilo-kilo meter dalamnya, teknologi yang mereka gunakan juga sangat sederhana. Rentan untuk tertimpa longsoran tanah dan risiko-risiko lain yang bisa membuat nyawa mereka melayang. Saat itu faktor keamanan dan keselamatan kerja sama sekali nggak dijamin. So, menjadi pekerja tambang kala itu digambarkan sebagai siksaan neraka di dunia. Lebih-lebih di bawah pengawasan para mandor yang super galak.

Sekelumit masa lalu celana jins ini barangkali saja memberi gambaran betapa waktu itu celana jins dipandang sebagai pakaian orang-orang rendahan. Oleh para tuan, orang yang mengenakan pakaian jins pun dipandang rendah, sekalipun sama-sama bangsawan. Sebab, seorang bangsawan tidak boleh menyamakan dirinya dengan para budak mereka.

Seorang Baron (tuan tanah/bangsawan) mesti mengenakan pakaian kebesarannya sesuai dengan aturan main berpakaian yang berlaku. Jika tidak, ia bisa saja dikucilkan dari kelompok bangsawan. Bahkan, dianggap tidak memiliki harga diri sama sekali.

Saya curiga, stereotip terhadap celana jins atau pakaian berbahan jins itu merupakan keberhasilan para tuan menanamkan sikap adigang adigung adiguna. Bahwa para tuan ini adalah orang-orang terhormat yang tidak boleh sedikit pun pakaiannya ternodai oleh sentuhan dari kaum budak, kaum pekerja. Mereka bahkan tidak boleh berbicara dengan kaum budak yang mereka anggap rendah dan tak berpendidikan. Bahkan, yang lebih jahat lagi, mereka---para tuan itu---menganggap kaum budak sebagai kelompok primitif yang amoral.

Tetapi, itu dulu! Dulu sekali! Ratusan tahun silam. Bagaimana sekarang?

Di era kini, mestinya stereotip itu sudah tidak berlaku lagi. Sebab, jarak antara punggawa pemerintah dan rakyat tidak lagi berjenjang dan berkesenjangan. Semestinya demikian. Antara Kepala Dinas dan warga yang tak berseragam ASN memiliki kedudukan yang setara. Orang tanpa seragam ASN, suatu kelak bisa saja mengenakan seragam itu. Begitu pula sebaliknya. Tetapi, seragam ASN bukan pakaian kebesaran. Ia hanya menjadi penanda bahwa seseorang yang mengenakan pakaian seragam ASN itu memiliki tanggung jawab untuk mendarmabaktikan dirinya bagi kemaslahatan warga. Melayani, bukan minta dilayani.

Kembali ke soal pemakaian celana jins bagi ASN, ada sesuatu hal yang barangkali masih samar-samar diketahui banyak orang. Salah satunya mengenai warna celana jins yang lazimnya berwarna biru. Sebenarnya, bukan biru melainkan warna indigo. Dan dalam sebuah obrolan ringan dengan seorang kawan, saya mendapatkan sebuah informasi tentang asal-usul penggunaan warna indigo itu.

Kawan saya pernah bercerita, ketika ia terbang ke luar negeri, ia bertemu dengan seorang peneliti warna indigo. Peneliti itu bilang, awal mula sejarah jins, pewarna yang digunakan adalah pewarna alam berbahan indigo. Dan, konon, menurut peneliti berhidung mancung itu, penggunaan warna indigo pada celana jins diilhami dari pemakaian warna indigo pada kain batik. Ia curiga, teknik pewarnaan berbahan dasar indigo ini mula-mula berasal dari Jawa. Bahkan, ia mencurigai, penggunaan pewarna alami indigo ini berangkat dari Pekalongan. Peneliti itu juga berniat mengunjungi Pekalongan, suatu saat nanti.

Jika benar demikian, sebenarnya penggunaan warna alami untuk keperluan tekstil sudah sangat mendesak bagi Pekalongan. Apalagi ketika saya membaca ulasan mas Angga yang menyinggung dampak industrialisasi tekstil telah membuat sungai-sungai di Pekalongan cemar. Tinggal bagaimana kemudian Bu Fadia menyeriusi masalah ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun