Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Karpet Merah untuk Tuan Besar

19 September 2021   02:41 Diperbarui: 19 September 2021   05:57 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi-pagi benar kami mesti bangun. Sebelum subuh menetaskan fajar merah di ufuk timur. Mimpi yang menjadi hadiah bagi tubuh lelah semalam kami pun harus segera diringkus. Menjauhkannya dari tubuh kami. Itu sudah menjadi komitmen, bahwa pagi ini tidak ada satu pun yang boleh terlambat bangun. Meski sedetik. Tidak boleh! Kami tak ingin menjadi tuan rumah yang tidak pandai menghormati tamu. Sebab tamu, dalam keyakinan kami, adalah anugerah besar. Tamu, bagi kami, adalah kunci pembuka pintu rezeki. Itu telah tertanam sejak lama. Sudah menjadi kesepakatan bersama.

Dan pagi ini, seorang tamu agung akan datang berkunjung. Seorang pejabat tinggi, katanya. Tetapi, seberapa tinggi jabatannya, kami tak tahu. Hanya Pak Kades dan Pak Carik yang tahu.

"Kalau diumpamakan, itu seperti langit dan bumi, Kang!" kata Pak Kades semalam, saat menemani kami menata segala keperluan. Kata-kata itu membuat kami melongo. Tanpa sadar, dalam waktu bersamaan kami menatap langit, lalu berangsur menunduk.

"Nha, paham?" tanya Pak Kades.

Kami menggeleng pelan. Kemudian menatap wajah Pak Kades. Segera, tangan kiri Pak Kades meraih peci hitam di kepalanya. Menariknya pelan dan meletakkan peci itu di dadanya yang disambut tangan kanannya. Seperti ada beban berat, genggaman tangan Pak Kades berangsur meluncur ke pangkuannya bersama peci hitamnya.

"Ya sudah, kalau nggak paham juga nggak apa-apa. Yang penting malam ini semua keperluan sudah harus beres. Begitu nggih, Bapak-bapak?" kata Pak Kades diselingi helaan napasnya yang dalam.

Kami hanya meng-inggih-kan. Memaklumi pemakluman Pak Kades. Yang artinya, memaklumi kami sendiri. Ya, di kampung ini cuma Pak Kades yang sekolahnya tinggi. Jadi, pasti bisa mengukur ketinggian jabatan tamu yang akan berkunjung di kampung kami.

Kami ingat. Dulu waktu Pak Kades lulus dan diwisuda, kami sekampung ikut berombongan merayakan wisudanya. Naik truk lengkap dengan perbekalan. Pisang, nangka, dan aneka makanan kami bawa serta. Juga ada yang bawa termos untuk wadah minuman.

Sampai di sekolahannya Pak Kades, kepala kami tak henti-hentinya menggeleng-geleng. Bangunan-bangunannya tinggi menjulang. Hampir-hampir menyentuh langit. Bayangan kami kala itu, ketinggian gunung yang biasa kami lihat sehari-hari masih kalah dengan tingginya gedung-gedung itu. Kami takjub dibuatnya.

Kami juga membayangkan, mungkin saja Pak Kades sudah pernah melihat langit dari ketinggian gedung-gedung tempatnya bersekolah. Bahkan, ada yang bercelatuk, Pak Kades pernah berdialog dengan para malaikat.

"Makanya, Pak Kades itu pinter. Lha wong temannya saja malaikat kok!" seloroh Yadi, pemuda kampung yang sehari-harinya menggembala kambing.

"Jangan-jangan gurunya Pak Kades juga para malaikat?" sambung Jono.

"Wah lha tambah istimewa!" timpal Pono.

"Sudah dari dulu, Pak Kades itu istimewa!" imbuh Sugi dengan entengnya.

Ya, semua sepakat, Pak Kades adalah satu-satunya orang istimewa di desa kami. Meski sejatinya tak sedikit warga yang bisa menyekolahkan anak-anak mereka sejajar dengan Pak Kades. Tetapi, semua memilih untuk mendidik anak-anak mereka di sawah dan ladang. Kadang, para orang tua tak segan membawa anak-anak mereka ke hutan.

Alasan kami sederhana. Supaya anak-anak terbiasa dengan cangkul, clurit, dan segala macam peralatan yang sehari-hari mereka gunakan. Kami tidak ingin anak-anak kami lupa cara memegang cangkul, clurit, dan lain-lain. Kami juga tidak ingin mereka tidak tahu cara mengayunkannya.

Lalu, mengapa Pak Kades bisa seperti itu? Itu sudah takdirnya. Pak Kades dilahirkan dari keluarga yang memang kami anggap istimewa. Beliau harus memegang tanggung jawab sebagai anak turun keluarga Den Wongso yang ditakdirkan untuk memimpin warga desa.

Den Wongso itu pendiri desa kami. Nama beliau melegenda. Setiap ada mertidesa, semacam peringatan hari jadinya desa, kuburan beliau dibersihkan warga. Dihias dengan untaian bunga melati. Dan, diziarahi. Semua warga kumpul di situ untuk menggelar doa bersama.

Nama Den Wongso tak hanya dikenal sebagai cikal bakal desa. Menurut cerita turun-temurun, beliau itu juga seorang abdi kerajaan. Beliau ditugasi oleh Kanjeng Sultan pada masa itu untuk babat alas desa ini. Bahkan, beliau juga dikenal sebagai seorang wali.

Itulah sebabnya, semua anak turunnya memiliki keistimewaan. Semua warga tak meragukan. Tetapi, untuk menambah kepercayaan warga, anak-anak turunan Den Wongso harus sekolah tinggi-tinggi.

Tidak ada peraturan mengenai itu, memang. Tetapi, hal seperti itu sudah menjadi kebiasaan.

Menurut salah seorang kerabat Pak Kades, langkah itu dilakukan sebagai persiapan bagi para keturunan Den Wongso untuk didudukkan sebagai pemimpin desa. Katanya lagi, siapapun dari keturunan Den Wongso punya kewajiban untuk mendidik warga desa. Lebih-lebih yang dapat giliran memimpin desa, jadi Kades. Itu harus.

Makanya, di desa ini berdiri sebuah padepokan. Tempat belajar anak-anak, remaja, dan para pemuda. Padepokan ini didirikan langsung oleh Den Wongso. Guru-gurunya adalah keturunan dari Den Wongso. Mereka semua ahli-ahli di berbagai ilmu pengetahuan.

Biasanya, padepokan ini baru akan menggelar kegiatan belajar setelah semua anak-anak, remaja, dan para pemuda selesai membantu pekerjaan orang tua mereka, baik di sawah maupun di rumah. Pelajaran yang mereka terima, sebagian sama dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Tetapi, porsinya tak banyak. Lebih banyak, mereka akan ditugasi untuk menceritakan apa yang mereka temukan, di mana pun. Lalu, para guru akan membimbing mereka dengan bekal ilmu pengetahuan yang mereka kuasai.

Selain itu, mereka yang sudah lancar menulis akan mendapat tugas tambahan, yaitu mencatat dalam buku khusus, yang disediakan oleh pengelola padepokan. Peristiwa apapun yang mereka temukan dicatat. Tidak boleh ada yang terlewat.

Selepas mereka menuntaskan masa belajar, buku catatan itu dijadikan koleksi perpustakaan padepokan. Kemudian, buku itu dijadikan sebagai bahan bacaan bagi adik-adik tingkat mereka. Dengan begitu, mereka akan belajar pula dari pengalaman generasi sebelumnya. Begitu seterusnya. Tak heran jika di padepokan itu banyak sekali buku-buku memenuhi rak-rak buku.

Dan, jangan dibayangkan juga guru-guru di padepokan itu seperti guru-guru di sekolah. Mereka sama sekali nggak boleh memungut bayaran dari warga. Mereka hanya diberi tugas untuk menjalankan kewajibannya yang sekaligus menjadi haknya; mendidik. Meski begitu, kehidupan mereka sudah pasti terjamin. Lha bagaimana nggak terjamin, lebih dari separuh lahan sawah di desa ini adalah milik keluarga Den Wongso. Dua per tiga lahan hutan juga milik mereka.

Kendati mereka punya hak atas tanah-tanah itu, mereka tidak boleh menguasainya sepenuh-penuhnya. Artinya, soal kepemilikan tanah itu sudah pasti. Tetapi, dalam urusan mengelola lahan, menurut titah Den Wongso, harus diberikan hak pengelolaan itu kepada warga desa. Hasilnya? Ya dirasakan bersama. Bagi hasil.

Itu sesuai amanat Den Wongso. Tidak boleh ada seorang pun dari warga desa yang kelaparan karena menderita miskin. Tidak boleh juga bagi keluarga keturunan Den Wongso mengeruk keuntungan besar yang berakibat merugikan warga desa.

Malah, ada juga aturan yang diberlakukan secara ketat. Semua hasil bumi desa ini harus dibagikan kepada seluruh warga desa untuk mencukupi kebutuhan. Setelah semua tercukupi, barulah sisa dari hasil bumi itu dikirim ke pasar atau ke kota. Tentu, harga jualnya tinggi. Sebab, semua hasil bumi di desa ini adalah yang terbaik.

Dari hasil penjualan itu, dana pembangunan desa diperoleh. Semua bentuk pembangunan, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik didanai dari hasil penjualan itu. Tetapi, itupun setelah dikurangi untuk mencukupi kebutuhan masa tanam berikutnya. Jadi, warga desa tak perlu memutar otak mereka untuk mencari ongkos tanam dan panen. Mereka cukup bekerja di sawah, mendapatkan keuntungan dari bagi hasil, dan kudu cermat menggunakan uang mereka untuk urusan-urusan yang memang dibutuhkan.

Rata-rata, kami tabungkan uang itu. Tidak di bank, tapi di bendahara desa. Kami hanya mengambil kalau memang sangat diperlukan. Kalau tidak, ya tetap kami simpan.

Tradisi itu sudah ada sejak desa ini ada. Itu karena pesan Den Wongso kepada warga agar mengambil sebagian yang memang diperlukan. Sisanya, disimpan dan disedekahkan. "Kita nggak bisa memastikan, di masa mendatang akan seperti apa kejadian yang menimpa kita semua. Maka, simpanan dan sedekah ini akan meringankan manakala memang dibutuhkan. Membiasakan hidup tidak boros itu lebih baik ketimbang menggunakan semua yang ada untuk berpuas-puas diri," begitu kata simbah-simbah dulu tentang pesan Den Wongso.

Dan, sekarang pesan itu benar adanya. Kami dengar, orang-orang kota pada mengeluh karena ada pagebluk. Itu kami dengar dari Pak Kades yang sehari-harinya membaca koran. Oh iya, di desa kami tak ada tivi maupun radio, apalagi telepon genggam. Satu-satunya sumber berita kami ya koran. Itupun yang baca hanya Pak Kades dan jajarannya. Selain itu, ya keluarga besar anak turun Den Wongso.

Dari merekalah, lalu berita-berita kami dengar. Jika memang penting dan perlu disebarluaskan kepada warga, Pak Kades akan menyampaikannya kepada warga. Jika tidak diperlukan, tidak akan disampaikan. Cukup Pak Kades dan orang-orang tertentu saja. Khususnya para sesepuh.

Ini pun sesuai dengan pesan Den Wongso. Bahwa tidak semua yang dianggap penting itu perlu disiarkan. Berita yang justru akan menimbulkan masalah dan membuat resah warga tidak perlu diramaikan. Katanya, "Akan lebih baik jika kita mengetahui apa-apa yang dialami sedulur-sedulur di sisi kanan-kiri kita sendiri. Sekalipun mungkin tak luas pengetahuan kita, tetapi jika berguna itu lebih baik. Kadang, yang namanya berita---lebih-lebih yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan kita di desa---justru simpang-siur dan bikin gaduh. Hidup kita akhirnya pun jauh dari ketenteraman."

Sebenarnya, dengan cara seperti ini maka Pak Kades dan jajarannya benar-benar menjadi orang yang paling sibuk di desa. Setiap hari harus keliling desa. Menyebarkan berita-berita penting. Apalagi kalau pas ada hal-hal yang dirasa perlu disampaikan ke warga. Tetapi, itu tak jadi soal. Sebab, hampir setiap malam pun selalu ada kumpulan warga di tiap-tiap dukuh. Pak Kades selalu hadir di situ.

Dan, kata Pak Kades, apa yang membuat Pak Pejabat tinggi itu ingin berkunjung ke desa kami, ya karena keistimewaan desa kami. Menurut Pak Kades, Pak Pejabat itu terheran-heran, merasa bahwa desa kami adalah desa yang nggak masuk akal. Sebab, hanya desa kami yang berani menolak bantuan pemerintah. Malah, beberapa waktu lalu, lewat Pak Kades, seluruh warga desa ini sepakat untuk menyumbangkan sebagian uang tabungan kami kepada pemerintah. Jumlahnya tak banyak, seluruhnya hanya sepuluh miliyar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun