Makanya, di desa ini berdiri sebuah padepokan. Tempat belajar anak-anak, remaja, dan para pemuda. Padepokan ini didirikan langsung oleh Den Wongso. Guru-gurunya adalah keturunan dari Den Wongso. Mereka semua ahli-ahli di berbagai ilmu pengetahuan.
Biasanya, padepokan ini baru akan menggelar kegiatan belajar setelah semua anak-anak, remaja, dan para pemuda selesai membantu pekerjaan orang tua mereka, baik di sawah maupun di rumah. Pelajaran yang mereka terima, sebagian sama dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Tetapi, porsinya tak banyak. Lebih banyak, mereka akan ditugasi untuk menceritakan apa yang mereka temukan, di mana pun. Lalu, para guru akan membimbing mereka dengan bekal ilmu pengetahuan yang mereka kuasai.
Selain itu, mereka yang sudah lancar menulis akan mendapat tugas tambahan, yaitu mencatat dalam buku khusus, yang disediakan oleh pengelola padepokan. Peristiwa apapun yang mereka temukan dicatat. Tidak boleh ada yang terlewat.
Selepas mereka menuntaskan masa belajar, buku catatan itu dijadikan koleksi perpustakaan padepokan. Kemudian, buku itu dijadikan sebagai bahan bacaan bagi adik-adik tingkat mereka. Dengan begitu, mereka akan belajar pula dari pengalaman generasi sebelumnya. Begitu seterusnya. Tak heran jika di padepokan itu banyak sekali buku-buku memenuhi rak-rak buku.
Dan, jangan dibayangkan juga guru-guru di padepokan itu seperti guru-guru di sekolah. Mereka sama sekali nggak boleh memungut bayaran dari warga. Mereka hanya diberi tugas untuk menjalankan kewajibannya yang sekaligus menjadi haknya; mendidik. Meski begitu, kehidupan mereka sudah pasti terjamin. Lha bagaimana nggak terjamin, lebih dari separuh lahan sawah di desa ini adalah milik keluarga Den Wongso. Dua per tiga lahan hutan juga milik mereka.
Kendati mereka punya hak atas tanah-tanah itu, mereka tidak boleh menguasainya sepenuh-penuhnya. Artinya, soal kepemilikan tanah itu sudah pasti. Tetapi, dalam urusan mengelola lahan, menurut titah Den Wongso, harus diberikan hak pengelolaan itu kepada warga desa. Hasilnya? Ya dirasakan bersama. Bagi hasil.
Itu sesuai amanat Den Wongso. Tidak boleh ada seorang pun dari warga desa yang kelaparan karena menderita miskin. Tidak boleh juga bagi keluarga keturunan Den Wongso mengeruk keuntungan besar yang berakibat merugikan warga desa.
Malah, ada juga aturan yang diberlakukan secara ketat. Semua hasil bumi desa ini harus dibagikan kepada seluruh warga desa untuk mencukupi kebutuhan. Setelah semua tercukupi, barulah sisa dari hasil bumi itu dikirim ke pasar atau ke kota. Tentu, harga jualnya tinggi. Sebab, semua hasil bumi di desa ini adalah yang terbaik.
Dari hasil penjualan itu, dana pembangunan desa diperoleh. Semua bentuk pembangunan, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik didanai dari hasil penjualan itu. Tetapi, itupun setelah dikurangi untuk mencukupi kebutuhan masa tanam berikutnya. Jadi, warga desa tak perlu memutar otak mereka untuk mencari ongkos tanam dan panen. Mereka cukup bekerja di sawah, mendapatkan keuntungan dari bagi hasil, dan kudu cermat menggunakan uang mereka untuk urusan-urusan yang memang dibutuhkan.
Rata-rata, kami tabungkan uang itu. Tidak di bank, tapi di bendahara desa. Kami hanya mengambil kalau memang sangat diperlukan. Kalau tidak, ya tetap kami simpan.
Tradisi itu sudah ada sejak desa ini ada. Itu karena pesan Den Wongso kepada warga agar mengambil sebagian yang memang diperlukan. Sisanya, disimpan dan disedekahkan. "Kita nggak bisa memastikan, di masa mendatang akan seperti apa kejadian yang menimpa kita semua. Maka, simpanan dan sedekah ini akan meringankan manakala memang dibutuhkan. Membiasakan hidup tidak boros itu lebih baik ketimbang menggunakan semua yang ada untuk berpuas-puas diri," begitu kata simbah-simbah dulu tentang pesan Den Wongso.