Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika "Budaya" Hanya Slogan

18 September 2021   17:41 Diperbarui: 18 September 2021   17:47 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saya tak mau gegabah menyarangkan tuduhan atau dugaan atas dasar informasi yang tak pernah lengkap yang saya terima. Yang saya tahu, permasalahan ini sangat kompleks. Melibatkan banyak pihak. Jadi, saya pun tak bisa menyalahkan salah satu pihak saja, dalam hal ini, seperti yang sampean tuding, adalah pemerintah daerah. Tetapi, dengan fakta yang sampean ajukan, saya juga tak bisa membela mereka.'

"Yang mesti sampean tahu, kegelisahan sampean sebenarnya juga dirasakan oleh kawan-kawan lain yang peduli. Dalam berbagai diskusi yang pernah saya ikuti, sekalipun kegelisahan itu diruangkan di sana, toh kenyataannya belum membuahkan rumusan yang jelas mengenai traktat strategi kebudayaan untuk kota ini. Malah, pernah dalam sebuah obrolan itu, yang saya tangkap justru kesan seolah-olah diskusi itu semacam forum gremang-gremeng dhewe, Kang."

Tiba-tiba, lelaki berkacamata yang sedari mula tak bersuara menyerobot pembicaraan kami. "Nah, itu dia masalahnya. Selama ini, yang ada hanya gremang-gremeng. Forum bisik-bisik. Sekali bersuara bikin berisik. Penuh kasak-kusuk. Makanya, saya ajak sampean ke sini ini karena saya punya misi besar. Saya ingin mengumpulkan orang-orang seperti sampean untuk duduk bersama. Memikirkan masa depan kota ini, Kang. Membuat rumusan yang jelas tentang strategi kebudayaan. Bagaimana?" tanyanya.

Saya, dan juga orang-orang yang terlibat dalam obrolan itu diam menyimak. Pandangan kami kompak, menatap ke arah pria berkacamata itu.

Pria berkacamata itu sejenak terdiam. Menatap kami. Lalu, kembali melanjutkan pembicaraan, "Oh, maaf. Mungkin sampean-sampean masih kurang percaya ya? Ragu-ragu kalau apa yang saya sampaikan tadi juga ilusi semata? Tidak. Saya tidak sedang bermimpi. Apa yang saya katakan sudah terencana. Saya punya beberapa koneksi yang siap mendukung. Baik dukungan moral maupun finansial."

"Sebentar, Kang," pria berambut gondrong itu menyela. "Sampean akan membawa orang luar ke dalam masalah rumah kita? Apa sudah sampean pertimbangkan masak-masak, Kang?"

"Percayalah. Mereka orang baik. Mana mungkin mereka akan melakukan hal-hal yang tidak patut," jawab pria berkacamata.

"Ini bukan soal kebaikan, Kang. Ini soal harga diri," sahut laki-laki gondrong yang sejak awal banyak mengambil porsi bicara. "Kita sudah cukup banyak pengalaman berkaitan dengan orang-orang luar. Ucapan mereka memang mengesankan. Menawarkan kembang gula yang manis rasanya, tetapi setelah kembang gula itu kita sesap, malah bikin gigi kita sakit. Sampai-sampai kita harus pergi ke dokter gigi untuk mencabut gigi yang sakit. Dan akhirnya, kita tak lagi bisa mencerna dengan baik apa yang kita makan."

"Saya hormati pendapat sampean, Kang. Tetapi, menurut saya, pandangan sampean terlalu menggeneralisir. Menganggap semua orang luar sama. Pandangan itu, menurutku tak bijak, Kang. Perlu sampean tahu, orang-orang ini tidak sama dengan yang sampean utarakan. Mereka telah menunjukkan keberhasilan mereka membuat beberapa kota menjadi bergeliat. Tumbuh dan berkembang menjadi kota yang maju, Kang," sergah pria berkacamata.

"Nggak ada makan siang gratis, Kang," celatuk lelaki gondrong.

"Memang. Nggak ada makan siang gratis. Benar itu. Mereka, orang-orang yang aku maksud itu, hanya mengambil sedikit dari yang sudah mereka berikan. Sebab, semua proyek yang mereka kerjakan kemudian diserahkan sepenuhnya kepada orang-orang lokal sebagai pengelolanya," sergah pria berkacamata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun