Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika "Budaya" Hanya Slogan

18 September 2021   17:41 Diperbarui: 18 September 2021   17:47 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau memang memiliki strategi, mestinya tak perlu lagi ada pertanyaan, 'apa urgensinya kesenian bagi pembangunan?'. Itu pertanyaan klise, sekadar pengaburan dan cenderung menyembunyikan maksud-maksud tertentu para elit. Sebab, kebudayaan mungkin saja tak dipandang sebagai 'proyek' yang menjanjikan!" kali ini suara pria gondrong itu seperti sedang menaiki tangga nada. Makin lama makin meninggi dan terasa betul hentakannya di bagian akhir kalimatnya.

"Bicaralah, Kang!" pintanya.

"Sebentar, saya tak ingin memutus kata-kata sampean. Kalau memang belum selesai, teruskan saja dulu. Saya masih bisa bersabar untuk mendengarkan," jawab saya.

"Oke, kalau sampean membiarkan aku terus nyerocos, aku akan terus nyerocos sampai sampean benar-benar paham," pria berambut gondrong itu lantas membetulkan posisi duduknya. "Kata 'berbudaya' dulu didengungkan sebagai slogan kampanye. Tetapi, apakah ada langkah konkretnya? Tidak kan? Sebaliknya, kata 'berbudaya' itu tak sampai mewujud nyata. Semua kegiatan yang dilabeli dengan kata 'budaya' tak lebih sekadar judul kegiatan. Semacam klaim tanpa konsep yang matang dan tak jelas pula juntrungannya. Maka, kalaupun ditanya tentang program, aku yakin jawabannya selalu mbulet. Berputar-putar di arena itu-itu saja. Karena mereka memang tak punya program, Kang. Bahkan, seorang penguasa kota, tak lebih sekadar menjadi pelaksana teknis atau bahkan sekadar teknisi. Bukan seorang yang memiliki konsep yang jelas. Apa yang ia sebut sebagai konsep, tak benar-benar konsep. Boleh jadi, itu hanya ilusi, Kang!"

"Ilusi?" kata saya.

"Ya, ilusi. Semacam mimpi di siang bolong," katanya sembari menghisap dalam-dalam rokoknya. "Kalau memang tak cukup mampu, mestinya ia punya tim yang dapat diandalkan. Tetapi, siapa tim itu? Yang aku lihat, ia seperti berjalan sendiri dalam kebimbangan dan kebingungan. Apalagi ketika harus dihadapkan dengan pandemi. Ia makin kelimpungan. Seperti gagap menangkap segala gejala. Ya kan?" tandasnya.

Saya diam.

"Ah, sebentar. Aku curiga, jangan-jangan kau salah satu tim itu," pria gondrong itu menatap saya tajam.

"Bagaimana sampean bisa menyangka begitu, Kang?"

"Sikap diammu, Kang."

 Saya menghela napas sejenak. Kemudian mengatur lalu lintas kata-kata dalam pikiran. Agar tak salah bicara, sehingga menjadi keliru pula dimengerti. Saya akhirnya angkat suara, "Saya diam karena saya tidak tahu harus membela yang mana. Kata-kata sampean tidak bisa saya salahkan. Pendapat sampean adalah sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Benar memang, terjadi kelesuan geliat budaya di kota ini. Benar juga, apresiasi masyarakat atas kegiatan-kegiatan budaya rendah. Bahkan, mungkin sangat minim dukungan. Dan soal apakah tak ada strategi kebudayaan yang dikonsep para pemangku kebijakan kota kita, saya tak cukup punya informasi soal itu. Mungkin saja ada. Tetapi, sosialisasinya belum sampai kepada publik. Atau, mungkin saja sudah disosialisasikan, namun dengan mekanisme berjenjang. Sehingga, hanya kalangan tertentu saja yang mengetahui. Dan, saya sama sekali belum mengetahui hal itu.'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun