Pria itu lantas tersenyum ke arah saya, kemudian menyilakan duduk di atas lantai yang dingin. Ketika saya duduk, secangkir kopi panas menyambut. Dibarengi sebuah asbak yang diletakkan bersebelahan dengan cangkir kopi yang mengepulkan uap.
"Kang, malam ini sengaja sampean kami undang ke sini," kata pria berambut gondrong itu. "Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan. Tapi, sebelum kita ngobrol, dikopi dulu, Kang."
Satu sruputan kopi saya sesap.
"Jadi gini, Kang. Sebagai sesama aktivis, kita sama tahu, kota kita, Pekalongan adalah kota yang sepi dari geliat budaya. Apresiasi masyarakatnya rendah. Kalangan elitnya pun tak bisa berbuat apa-apa. Lalu, apa pandangan sampean, Kang?" tanya pria gondorng itu.
"Perlukah saya jawab?" saya balik bertanya.
Sebatang rokok itu ia selipkan pada bibirnya yang menjepit pangkal rokok berwarna cokelat. Lalu, bersama sekepul asap yang membumbung, ia angkat bicara, "Jika memungkinkan. Tetapi, jika tidak, tak masalah. Hanya, kami sangat menyayangkan jika sampean tidak sama sekali memberikan tanggapan."
Lengang sejenak.
Pria gondrong itu melanjutkan kembali obrolannya. "Kita tahu, sebuah kota akan hidup ketika kebudayaannya pun tumbuh dan berkembang. Kebudayaan itu roh dari kehidupan masyarakat. Jika kebudayaan tak bergeliat, itu tandanya kota dalam keadaan sekarat. Hilang harapan, hilang pula bayangan tentang masa depan. Bukan begitu, Kang?"
Saya hanya mengangguk. Menahan diri, belajar menjadi pendengar yang baik. Menyimak apa saja yang ia katakan.
"Dan, kalau boleh aku curiga, jangan-jangan kota ini tak punya strategi kebudayaan. Tak heran jika geliat kebudayaannya lesu, ya kan?" kata pria gondrong itu.
Lagi-lagi saya hanya diam.