Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Omah Lawang Sanga, Seni Bangunan Khas Pekalongan dari Abad XIX

30 Agustus 2021   00:07 Diperbarui: 30 Agustus 2021   00:15 1608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu bangunan Omah Lawang Sanga yang ada di Kampung Kauman Kota Pekalongan.

Kota tak hanya masa kini. Juga bukan sekadar masa lalu. Kota adalah sebuah perjalanan panjang yang menautkan masa kini dengan masa lalu. Masa lalu mempersembahkan kisah-kisah keteladanan. Masa kini memberi makna, untuk selanjutnya dihadirkan sebagai pelajaran bagi masa depan.

Pewarisan ini menjadikan kehidupan terus berdenyut. Merembes ke segala aspek kehidupan. Hingga, menumbuhkan rasa memiliki, memperkokoh jati diri, namun luwes dalam menjalin hubungan lintas budaya.

Gambaran ini dapat kita lihat dari budaya Kota Pekalongan yang dinamis. Sifat dinamis itu terejawantahkan dalam seni arsitekurnya, Omah Lawang Sanga. Rumah sembilan pintu.

Selintas Masa Lalu Omah Lawang Sanga

Omah Lawang Sanga atau ada pula yang menyebutnya Omah Kaji (karena rata-rata pemilik dan penghuninya adalah mereka yang sudah berhaji) merupakan salah satu kekayaan budaya Pekalongan. Ada sembilan pintu utama pada Omah Lawang Sanga. Jumlah ini memiliki kesamaan jumlah lubang pada tubuh manusia. Kesamaan ini seolah mengisyaratkan bahwa rumah adalah seonggok tubuh. Sebagai seonggok tubuh, maka rumah membutuhkan beragam aktivitas agar ia menjadi hidup. Dan hidup, tidak sekadar hidup, ia mesti memberi manfaat dan memiliki kegunaan.

Demikian pula dengan Omah Lawang Sanga. Ia tak sekadar dibangun untuk tempat tinggal para juragan. Namun, melalui Omah Lawang Sanga denyut kehidupan batik, yang menjadi salah satu mata budaya Pekalongan, dihidupkan.

Permulaan Omah Lawang Sanga terjadi pada awal Abad ke-19. Ketika itu, bangunan-bangunan bergaya Eropa tengah marak didirikan di Pekalongan. Terlebih karena kedudukan Pekalongan sebagai Ibukota Karesidenan Pekalongan.

Mula-mula mereka tertarik dengan bangunan bergaya Eropa yang terkesan elegan. Namun, alih-alih ingin mewujudkan keinginan itu, mereka membangun rumah mereka dengan gaya yang diolah sedemikian rupa. Sehingga, tetap memiliki ciri pembeda.

Bangunan-bangunan gaya Eropa kala itu hanya menonjolkan pintu dan jendela berukuran besar, serta kekokohan pilar-pilar penyangga. Sementara Omah Lawang Sanga lebih dari yang dilakukan oleh arsitek-arsitek Eropa pada bangunan-bangunan mereka. Omah Lawang Sanga justru memanfaatkan apa yang ditonjolkan oleh bangunan bergaya Eropa itu semata-mata menjadi salah satu bagian dari bangunan. Konstruksi Omah Lawang Sanga bahkan memadukan konsep arsitektur lintas budaya, yaitu budaya Jawa, Arab, Eropa, dan Cina.

Perpaduan lintas gaya arsitektur ini mencirikan gaya egalitarian masyarakat Pekalongan. Dengan cara ini pula, seolah-olah para juragan ingin menyatakan kepada elite bangsa Eropa yang waktu itu berkuasa, bahwa kedudukan semua bangsa yang menghirup udara dan meminum air di tanah kelahiran mereka adalah sejajar. Tidak ada pembagian kelas di antara bangsa-bangsa itu.

Dengan kata lain, Omah Lawang Sanga merupakan cara Wong Pekalongan menunjukkan harga diri dan mensejajarkan kedudukan mereka dengan bangsa-bangsa lain. Kesadaran ini timbul melalui konsep dasar tentang rumah sebagai sebatang tubuh. Tubuh tidak akan memiliki guna apa-apa jika tidak difungsikan. Selain itu, juga karena faktor sejarah masa silam, yang mendudukkan Pekalongan sebagai salah satu kota dagang dunia.

Perpaduan Gaya Arsitektur Omah Lawang Sanga

Sebagai tubuh yang lengkap, Omah Lawang Sanga memadukan beberapa unsur. Di antaranya unsur gaya arsitektur Jawa, Eropa, Arab, dan Cina. Unsur gaya Jawa menjadi pola dasar bangunan, baik bentuk maupun pembagian ruangan. Secara keseluruhan, Omah Lawang Sanga merupakan bangunan rumah limasan ala pesisiran. Sementara pembagian ruangan, terbagi ke dalam empat bagian. Yaitu, bagian depan, bagian dalam, bagian samping, dan bagian belakang. Bagian depan terdiri atas halaman rumah (latar) dan teras (jogan). Yang membedakan antara latar dan jogan adalah tinggi rendahnya bangunan. Latar, biasanya menyatu dengan jalan kampung. Sementara jogan berupa susunan anak tangga dan lantai yang tak terlalu luas di bagian teras rumah.

Bagian dalam Omah Lawang Sanga terdiri atas ruang tamu (batur), ruang tengah/ruang keluarga, dan ruang kamar. Sementara bagian belakang terdiri atas dapur (pawon), sumur dan tempat cuci, kamar mandi, dan pranggok (bengkel produksi batik). Sedang bagian samping, terdiri atas lahan terbuka untuk mepe (menjemur) kain batik di sisi kiri dan kebun di sisi kanan.

Sementara unsur gaya Eropa ditampilkan melalui penggunaan pintu dan jendela berbahan kayu dengan ukuran besar. Panel-panel pada pintu dan jendela terkesan minimalis, karena tidak menonjolkan motif ukiran-ukiran yang rumit. Selain itu, pemanfaatan pilar-pilar kokoh pada bangunan ini memberi kesan elegan.

Ornamen-ornamen bercorak Arab juga muncul dalam beberapa elemen bangunan. Terutama pada panel-panel pilar berbahan semen dan mozaik kaca bermotif bunga pada beberapa daun jendela kaca. Beberapa juga tampak pada daun pintu. Biasanya, pada bagian pintu depan terdapat pintu rangkap yang menampilkan ornamen bergaya Arab.

Sedang ornamen bergaya Cina menjadi pelengkap. Ornamen-ornamen ini disisipkan pada bagian kisi-kisi ventilasi jendela atau pintu. Juga dilekatkan pada bagian penyangga atap teras rumah.

Jika demikian, teranglah bahwa perpaduan ini menunjukkan bahwa watak egalitarian Wong Pekalongan tidak lain adalah sebuah harapan untuk membina hubungan yang harmonis dengan semua bangsa. Akan tetapi, sebagai orang Jawa, jati diri kejawaan itu tetap dipertahankan. Bahkan, dijadikan sebagai nilai-nilai yang asasi.

Fungsi Ruang-ruang Omah Lawang Sanga 

Umumnya, bangunan Omah Lawang Sanga menempati area tanah yang luas. Sebab, bangunan Omah Lawang Sanga disatukan dengan pranggok (bengkel produksi batik) yang diletakkan di bagian belakang rumah. Juga membutuhkan lahan terbuka untuk area mepe (menjemur) kain-kain batik yang biasanya ditempatkan di sisi kanan rumah. Tak ayal jika luasan bangunan Omah Lawang Sanga tidak lebih luas dari pranggok dan lahan mepe batik.

Bagian lain yang tak kalah penting adalah area kebun yang diletakkan di sisi kiri bangunan rumah. Dahulu, di area kebun ini juga ditempatkan kandang-kandang binatang ternak atau peliharaan. Keberadaan kebun juga dimanfaatkan para juragan untuk menjaga hubungan harmonis dengan tetangga. Sambil memanjakan binatang piaraan, mereka juga bercengkerama dengan tetangga atau para pekerja saat jam-jam istirahat. Membincangkan apa saja, lebih-lebih tentang apa yang tengah menjadi kegundahan masing-masing.

Pemanfaatan lahan terbuka ini menunjukkan pula bahwa Omah Lawang Sanga lebih mengutamakan fungsi sosialnya daripada ruang privasi. Hal ini juga ditunjukkan melalui pemanfaatan halaman rumah dan teras (jogan). Biasanya, digunakan untuk menerima tetamu dalam acara hajatan besar. Pada halaman rumah inilah tak jarang pula digelar seni pertunjukan rakyat untuk menghibur para pekerja dan orang-orang sekitar. Biasanya, gelaran seni pertunjukan itu dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur sang juragan atas tercapainya hajat yang diidamkan.

Sedang ruang tamu, digunakan untuk menerima tamu atau untuk melakukan transaksi jual-beli produk batik. Ruang tengah difungsikan sebagai ruang keluarga. Selain sebagai ruang keluarga, ruang tengah juga difungsikan sebagai tempat pengepakan produk batik. Dengan begitu, usaha batik yang dijalankan sang juragan tidak semata mengandalkan tenaga para pekerja, melainkan pula melibatkan keluarga. Keterlibatan keluarga ini sekaligus sebagai salah satu cara para juragan mengedukasi keluarga, khususnya anak-anak mereka tentang pengelolaan bisnis batik, juga melatih rasa empati mereka kepada para pekerja. Ini juga menandakan bahwa kerja sama antara juragan dan pekerja disemangati oleh rasa kekeluargaan.

Satu-satunya ruang pribadi sang juragan adalah kamar tidur. Ruang ini terletak di sisi kanan-kiri sudut ruang tengah. Kedua kamar ini dijeda oleh koridor menuju pintu belakang. Dua kamar ini saling berhadapan. Satu kamar untuk anak-anak, satu kamar lainnya menjadi kamar pribadi sang juragan.

Makna Lawang Sanga

Pintu dalam pandangan orang Pekalongan adalah jalan masuk rezeki. Semakin banyak pintu berarti pula semakin luas jalan rezeki seseorang. Rezeki, dalam pandangan orang Pekalongan yang dilandasi pemikiran agama Islam, tidak hanya berupa kekayaan materi. Akan tetapi, juga dalam rupa dan bentuk yang beragam. Seperti persaudaraan, pertemanan, dan sebagainya.

Tidak heran jika penempatan pintu lebih banyak diletakkan di bagian depan dan tengah. Tiga pintu berderet menyamping di bagian depan. Tiga pintu lagi di bagian tengah. Dua pintu lagi di sisi kiri-kanan ruang tengah. Dan, satu pintu lagi di bagian belakang.

Penempatan pintu ini memiliki makna khusus. Tiga pintu bagian depan melambangkan watak ramah. Bahwa orang Pekalongan sangat terbuka dengan siapa saja. Mereka sanggup menerima kedatangan siapapun, tanpa memandang perbedaan yang melekat pada atribut tiap individu.

Sementara tiga pintu yang dilekatkan pada dinding sekat antara ruang tamu dan ruang tengah melambangkan kejujuran. Dengan kata lain, kejujuran menjadi prinsip hidup yang mestinya dipegang teguh oleh masyarakat Pekalongan. Dalam semua aktivitas dan segala laku hidup, kejujuran harus dijunjung tinggi. Karena dengan kejujuran itu, nasib orang akan menjadi mujur.

Satu pintu di bagian lambung kiri yang berhadapan langsung dengan aktivitas pekerja batik, dan satu pintu lagi di bagian lambung kanan yang berhadapan dengan kebun dan rumah tetangga, melambangkan kepedulian dan rasa empati. Artinya, bahwa segala kekayaan yang dimiliki para juragan batik adalah hasil dari tetes keringat para pekerja. Maka, mereka memiliki tanggung jawab atas nasib para pekerjanya. Di sisi lain, para juragan juga mesti membuka kesempatan kepada lingkungan sekitar untuk berbagi. Orang-orang atau tetangga yang tak memiliki kesempatan bekerja mesti dibukakan pintu agar bisa mendapatkan mata pencaharian.

Sedang makna satu pintu di bagian belakang, menandai pantangan untuk membuka aib. Hal-hal yang buruk, baik tentang diri sendiri lebih-lebih orang lain tak boleh disebarluaskan. Sebaliknya, sesuatu yang buruk mestinya menjadi pelajaran bagi diri sendiri dan lingkungan keluarga, sebagai introspeksi diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun