Rustam menyeruput kopi hitam dari gelas yang dipegangnya. Tinggi garis sisa kopi melingkar di gelas yang bertuliskan salah satu merek penyedap rasa.Â
Ah, desah Rustam. Nikmatnya meminum kopi panas seperti ini. Ada juga pisang goreng hangat yang dibelinya di warung mak Sani.Â
Matanya menatap tayangan televisi berita sore. Televisi itu dikasih begitu saja dua hari lalu dari Sartan, salah satu lelaki kaya di kampung itu. Katanya, anak  pak Sartan merengek minta televisi yang bisa yutuban dan bisa dipakai buat nonton drakoran.Â
Rustam nggak peduli soal itu. Diam-diam, hatinya terlonjak saat televisi itu benar-benar berpindah ke rumahnya dari rumah Sartan. Dia merasa beruntung.Â
Sudah beberapa tahun ini hanya radio yang menemaninya. Televisi lamanya tidak bisa menyala lagi entah kenapa.Â
Rustam kembali menyeruput kopinya. Penyiar cantik di layar televisi menyampaikan kenaikan harga elpiji.Â
Reaksi dimana-mana. Ada keberatan disampaikan beberapa orang yang diwawancarai tapi tak bisa apa-apa. Harga tetap dinaikkan.Â
"Kata orang-orang, kalau satu naik semua pasti ikutan naik. " suara seorang lelaki muda tiba-tiba terdengar.Â
"Termasuk pisang goreng yang kubeli ini? "
"Katanya begitu. "
Ooh, Rustam menatap sepotong pisang yang masih ada di kertas pembungkus yang bertuliskan soal anak sekolah.Â
"Mak Sani bilang begitu? " tanyanya penasaran.Â
"Belum, tapi  biasanya kan begitu, ' jawab lelaki muda itu.Â
Ooh, Rustam langsung mencomot sepotong pisang yang tersisa. Harganya sekarang seribu rupiah. Kalau naik jadi berapa, ya? Pikirnya.Â
Lelaki muda di hadapannya tertawa. "Sudah nggak usah dipikirkan. Tadi kayu bakarnya sudah tak taruh di belakang, ya. " Lelaki muda itu pun melangkah ke luar rumah.Â
Oh iya, Rustam tiba-tiba ingat harus memasak air lagi untuk mengganti air panas termos yang sudah dituangnya. Biar nanti malam tidak repot kalau ingin minuman panas.Â
Tak lama api pun menyala. Api mulai membakar kayu. Sebentar lagi pasti matang. Bunyi air mendidih mulai terdengar.Â
Sambil menuang air panas, telinga Rustam mendengar jika harga elpiji yang naik hanya ukuran besar.Â
Mata Rustam menatap tabung gas hijau muda yang diletakkannya di sudut rumah.Â
Rustam lupa sudah berapa lama tabung gas itu ada disitu. Sama lupanya Rustam letak kompor gas yang punyanya dulu.Â
Rustam terlalu takut memakai kompor gas pemberian pemerintah yang diterimanya.Â
Tayangan televisi yang pernah ditontonnya pernah memberitakan ada rumah yang kebakaran karena gas meledak.Â
Karena itu, saat ada yang meminta kompor miliknya, Rustam cuma mengangguk-angguk saja. Nyatanya, Rustam kaget juga saat kompornya benar-benar hilang dibawa orang.Â
Aduh, pekik Rustam. Tuangan air panas dari ceret tidak pas masuk ke termos. Percikan panas dirasakannya.Â
"Jangan ngelamun, mbah Tam. Mau naik apa nggak kan nggak berpengaruh buat mbah. Lagipula,nanti ada kartu khusus buat beli gas kecil buat orang seperti mbah," tiba-tiba suara lelaki muda itu kembali muncul.Â
Dia datang lagimembawa tambahan sabun kelapa kering.Â
Rustam terdiam. Tidak tahu apakah harus senang atau tidak. Suara dari tayangan televisi masih terdengar mengenai kemungkinan harga-harga makanan akan naik.
***
Jkt,dhu090122
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H