Beberapa di antara kami akhirnya kembali,"Bingung mau makan apa," ucap mereka yang akhirnya memilih untuk mencicipi Siomay Nur yang terletak pada bagian depan jalan. Sementara, Tauhid dan mas Agung berjalan lurus ke arah TIM menuju jajaran warteg.
Mbak Muthiah memilih gado-gado. Saya memutuskan makan Bubur Cikini saja. Saya berdua mbak Eka pun memasuki tempat jajanan itu. Â Â
Kapan saya terakhir ke Cikini? Sebelum pandemi datang. Sudah lama juga. Pandemi membuat saya hanya langsung pergi ke tempat yang pasti dituju saja. Padahal sebelumnya, Cikini adalah tempat yang asyik buat berjalan kaki bersama teman, mengingat kenangan makan di pelataran depan TIM, nonton teater atau bioskop yang saat ini sudah tidak ada. Â
Selama pandemi, jika ingin kuliner dari suatu tempat, lebih banyak memesan makanan lewat online yang langsung antar sampai rumah. Â Sekarang, sepanjang Jl Cikini Raya dari Stasiun hingga persimpangan, penjual kaki limanya tidak sebanyak dulu. TIM juga masih dibenahi. Â Jadi, menyantap Bubur Cikini adalah pilihan tepat setelah sekian lama. Â
Bubur Telur Cikini aroma khas rempah
Dan, siang itulah pertama kali saya mencoba Bubur Telur yang kuning telurnya dimasukkan mentah-mentah ke dalam bubur di mangkuk. Selama ini saya lebih memilih bubur biasa. Sebagai pelengkap, barulah ditambahkan sate, cakwe, telur rebus, dan pelengkap lainnya jika ada.
Alasannya? Saya kadang tidak berselera  dengan makanan yang berbau amis tajam. Jadi, saya harus memastikan nantinya akan suka. Tapi, inilah Bubur Telur Cikini yang digandrungi banyak orang. Masa' saya tidak pernah coba?  Masa' taunya cuma yang biasa saja?
"Nggak amis, kok! Mau coba?" tanya karyawan Burcik.Â
Saya mengangguk. Baiklah, kita coba. Harum bubur tercium.Â