Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Mendekap Kehangatan Kuliner Cikini Lewat Semangkuk Bubur dan Semangkuk Bakmi Pangsit

30 Desember 2021   22:50 Diperbarui: 30 Desember 2021   22:54 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bubur Ayam Cikini H.R Suleman (dok.windhu) 

 "Bubur telurnya nggak amis, kan?" tanya saya saat memesan semangkuk Bubur Telur yang ada di Bubur Ayam Cikini H.R. Suleman. Bubur legendaris yang sudah ada sejak tahun 1960-an ini, masih tetap menjadi salah satu favorit  dari banyak kuliner yang berada di sepanjang Jalan Cikini, Jakarta Pusat. Pun, di masa pandemi.  

Sabtu 25 Desember 2021, saya bersama teman-teman Kompasianer yang tergabung dalam peserta #KPKGerebek Jajanan UMKM Bareng KPK berkumpul di Cikini.

Kawasan yang mempunyai daya ngangenin  dari kisah sejarah, seni, dan kulinernya. Cikini yang identik dengan Taman Ismail Marzuki (TIM), Raden Saleh dan lainnya. Nggak heran, dari Benyamin Sueb sampai Duo Anggrek menyebut kawasan Cikini dalam lagu. 

Cikini tempat yang asyik buat kulineran. Bersama KPKGerebekUMKM (foto:yayat) 
Cikini tempat yang asyik buat kulineran. Bersama KPKGerebekUMKM (foto:yayat) 

Ya, Cikini tak hanya asyik ditelusuri dengan berjalan kaki. Lokasinya sangat strategis, bahkan sejak dari zaman kolonial Belanda. Untuk saat ini, gampang ditempuh dengan menggunakan Trans Jakarta, Kereta Api, dan ojek online. Kawasan yang cocok dijadikan destinasi wisata urban.

Nah kalau ngomongin kuliner di Cikini, juga seakan nggak ada habisnya karena banyak sekali ragam makanan dan minuman yang tersedia. Ada yang ala resto atapun gerobakan kaki lima beratapkan tenda di pinggir jalan. Ada yang menu modern atau menu jadul nan legendaris.

Cikini depan Stasiun (dok.windhu) 
Cikini depan Stasiun (dok.windhu) 

Oh ya, jika mau ada juga jajaran Warung Tegal (warteg) dengan berbagai menu andalannya. Masih ada lagi roti legendaris  Tan Ek Tjoan  dan Lauw yang dijual pakai gerobak sepeda. Mau es krim? Ada Tjanang, Mau ambil sendiri? Ada rumah makan Ampera 2 Tak. Mau gado-gado? Tinggal pilih. Cendol dan rujak pun ada.

"Jadi, mau makan apa?"  tanya mbak Eka. Setelah berkumpul dulu, membagi doorprize dan berfoto bersama di bangku yang ada di persimpangan berlatar Stasiun Cikini, kami pun menyebar. Kami menyusuri sepanjang jalan arah Pasar Kembang Cikini yang berderet pedagang makanan gerobakan.  Penjual parcel ada di sisi kiri dan sisi kanan jalan.

Jajaran Warung Tegal (warteg). Sayangnya Sabtu banyak yang tutup. (dok.windhu) 
Jajaran Warung Tegal (warteg). Sayangnya Sabtu banyak yang tutup. (dok.windhu) 

Beberapa di antara kami akhirnya kembali,"Bingung mau makan apa," ucap mereka yang akhirnya memilih untuk mencicipi Siomay Nur yang terletak pada bagian depan jalan. Sementara, Tauhid dan mas Agung berjalan lurus ke arah TIM menuju jajaran warteg.

Mbak Muthiah memilih gado-gado. Saya memutuskan makan Bubur Cikini saja. Saya berdua mbak Eka pun memasuki tempat jajanan itu.   

Siomay gerobak yang laris manis (dok.windhu) 
Siomay gerobak yang laris manis (dok.windhu) 

Kapan saya terakhir ke Cikini? Sebelum pandemi datang. Sudah lama juga. Pandemi membuat saya hanya langsung pergi ke tempat yang pasti dituju saja. Padahal sebelumnya, Cikini adalah tempat yang asyik buat berjalan kaki bersama teman, mengingat kenangan makan di pelataran depan TIM, nonton teater atau bioskop yang saat ini sudah tidak ada.  

Selama pandemi, jika ingin kuliner dari suatu tempat, lebih banyak memesan makanan lewat online yang langsung antar sampai rumah.  Sekarang, sepanjang Jl Cikini Raya dari Stasiun hingga persimpangan, penjual kaki limanya tidak sebanyak dulu. TIM juga masih dibenahi.  Jadi, menyantap Bubur Cikini adalah pilihan tepat setelah sekian lama.  


Bubur Telur Cikini aroma khas rempah

Dan, siang itulah pertama kali saya mencoba Bubur Telur yang kuning telurnya dimasukkan mentah-mentah ke dalam bubur di mangkuk. Selama ini saya lebih memilih bubur biasa. Sebagai pelengkap, barulah ditambahkan sate, cakwe, telur rebus, dan pelengkap lainnya jika ada.

Alasannya? Saya kadang tidak berselera  dengan makanan yang berbau amis tajam. Jadi, saya harus memastikan nantinya akan suka. Tapi, inilah Bubur Telur Cikini yang digandrungi banyak orang. Masa' saya tidak pernah coba?  Masa' taunya cuma yang biasa saja?

Kuning telur dalam bubur Cikini (dok.windhu) 
Kuning telur dalam bubur Cikini (dok.windhu) 

"Nggak amis, kok! Mau coba?" tanya karyawan Burcik. 

Saya mengangguk. Baiklah, kita coba. Harum bubur tercium. 

Dengan cekatan, karyawan itu mengambil kuning telur dengan centong, lalu dengan tangannya yang mengenakan plastik  menambahkan topping, seperti tongcai,cakwe, suwiran daging ayam yang melimpah dan emping yang menutupi bubur dalam mangkuk.

Bubur Telur Cikini (dok.windhu) 
Bubur Telur Cikini (dok.windhu) 

 Mbak Eka sudah menyantap semangkuk bubur ayam biasa. Sambil ngobrol, kami menikmatinya. Mbak satu ini cepat sekali makannya, entah lapar entah sangat suka.

Saya yang lebih menikmati bubur tanpa diaduk menyibak topping ayam, emping dan tongcai yang menutupi bubur. Kuning telur terlihat di baliknya. Menjadi matang di atas bubur yang panas. Hmm, benar juga rasanya tidak amis. Malahan bubur tanpa kuah itu justru menyatu dengan rasa rempah bubur. 

Memberi topping bubur Cikini (dok.winshu) 
Memberi topping bubur Cikini (dok.winshu) 

Menurut karyawan lelaki yang saat itu berseragam cokelat, aroma rempah muncul karena ada paduan jahe dan pala. Ah, hangat memang terasa saat bubur menyentuh mulut lalu melesat ke lambung. Apalagi cuaca memang mulai gerimis.

Untunglah saya mencoba bubur telur legendaris ini. Bubur yang asinnya tidak setajam bubur ayam kebanyakan, tidak diberi kuah kuning dan kecap  seperti penjual lain. Kalau mau lebih asin, ada botol yang diletakkan di atas meja.

Cepatnya Mbak Eka makan bubur  (dok.windhu) 
Cepatnya Mbak Eka makan bubur  (dok.windhu) 

Bubur yang sudah mengandung kaldu dengan topping ayam kampung, tongcai, dan emping memberi rasa dan tekstur beda. "Ini bubur ala Cina," kata mbak Eka di sela suapannya. Saya baru saja menggigit tongcai, lobak asin meluncur besama sesendok bubur.     

Masih menurut karyawan Burcik, warung Bubur Cikini dibukai sejak pukul 6.00 sampai malam pukul 23.00 WIB. Pagi baru buka merupakan jam ramai pembeli setelah itu jumlahnya akan berkurang. Pengunjung mulai ramai lagi saat sore hari dan malam meski bubur cocok saja dimakan dalam waktu apapun.

Tambah sendiri kalau kurang rasa (dok.windhu) 
Tambah sendiri kalau kurang rasa (dok.windhu) 

Saat masih menyantap bubur telur, datang mbak Hida, mbak Woro,  dan mbak Yayat. Ahay, asyik juga. Mbak Hida memesan martabak dua telur, yang lain memesan bubur ayam. Saat martabak datang, bisa mencicipi satu potong.

Ya, Bubur Cikini H. R Suleman yang sudah berdiri sejak tahun 1960-an dan dikelola beberapa generasi ini, tak hanya menyediakan bubur. Ada martabak yang sebenarnya lebih dulu  dijual sebelum bubur dan roti canai. Kini ada juga mie dan nasi goreng, semua yang tersaji jadi pilihan bagi pembeli. Apalagi, lokasi jualanya sangat strategis berada di persimpangan dekat dengan Stasiun Kereta Api Cikini.

Harga Bubur Cikini Rp.25.700, harga Bubur Telur Rp.29.000. Bisa beli separuhnya. Harga bubur putih saja Rp. 8.500. Kalau mau tambahan, ada sate (Rp.7000),telur kampng (Rp.6000), Emping (Rp.7.000),Cakwe (Rp.5000),Ayam suwir (Rp.8.000), Tongcai (Rp.5000).

Martabak 2 telur (dok.windhu)
Martabak 2 telur (dok.windhu)

Makin sore semakin  ramai. Ada yang datang berdua,beberapa orang, atau bersama keluarga. Bahkan, ada  pembeli yang hanya menyantap bubur di dalam mobil. 

Usai makan bubur, perlahan gerimis menderas dan berubah menjadi hujan. Argh, saya belum ingin pulang ke rumah. Masih ingin mencicipi kulineran Cikini yang sudah lama tidak dirasakan. Saya bertemu Gio. Bakmi menjadi pilihan menu kedua yang sangat tepat saat turun hujan.

Bakmi Roxy Cikini (dok.windhu) 
Bakmi Roxy Cikini (dok.windhu) 

Bakmi Roxy, Lezatnya Mie dan  Lembutnya Pangsit

Sampai di depan kedai Bakmi Roxy, ruangan penuh orang yang sedang menunggu atau menyantap bakmi. Iyalah, hujan-hujan, makan mie dengan kuah paling enak dan paling cocok. Untunglah masih ada kursi di paling belakang sehingga bisa langsung memesan.

Dengan sigap, para karyawan menawarkan menu yang dipesan. Ada mie ayam, bihun ayam, kwetiauw ayam, dan mie ayam yamiyen yang disediakan biasa, pakai bakso, spesial, dan ceker.  Ada juga pangsit goreng, bakso sapi, dan pangsit rebus.  Untuk minuman, tersedia teh dan jeruk.    

Bakmi Pangsit Kuah (dok.windhu) 
Bakmi Pangsit Kuah (dok.windhu) 

Pesanan semangkuk mie ayam dan semangkuk pangsit kuah dilayani cepat di Bakmi Roxy.  Dari namanya, Roxy merupakan kawasan di Jakarta Barat,  cabangnya ada di Cikini. Di gerobak mie, karyawannya sudah siap menyajikan dalam berderet-deret mangkuk yang siap ditaruh mie atau pangsit.

Ahai, ini dia bakmi ayam dan pangsit kuah panas, paduan yang sangat sempurna di sore saat hujan. Ayamnya enak dan banyak, membuat bamie semakin terasa lezat. Pangsit putih dan  kuahnya pun enak. Lembut di lidah. Sawi hijaunya banyak.

Mangkuk mie berderet (dok.windhu) 
Mangkuk mie berderet (dok.windhu) 

Perut pun mendadak lapar kembali. Tanpa terasa, bakmi ayam dan pangsit kuah plus minuman the seharga Rp.29.000 segera tandas. Kenyang banget! Senangnya, Bakmi Ayam Roxy menjadi menu kedua yang kusantap Sabtu sore itu dan memberikan kehangatn tubuh ketika hujan turun.   

Mendekap Kehangatan Kuliner Cikini

Kulineran Cikini beragam. Rasanya pun enak. Soal harga, disesuaikan saja dengan kondisi keuangan yang dimiliki. Makan di abang-abang gerobak dan resto sama-sama enak meski beda nuansa.

Rata-rata penjual UMKM di kawasan Cikini sudah cukup lama, bertahun-tahun dan tak jarang yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi. Satu hal yang memberikan kehangatan di Cikini tak hanya dari lezatnya makanan yang disajikan dalam kondisi panas.

Menjual dengan gerobak (dok.windhu) 
Menjual dengan gerobak (dok.windhu) 

Para pedagang kuliner Cikini cukup terbuka dan bersedia diajak ngobrol seputar dagangannya. 

Semua ini mempertegas kulineran Cikini tak hanya pada mangkuk dan piring makanan yang disajikan. Saya bisa mendapatkan lebih. Sore itu, saya mendekap kehangatan kuliner Cikini melalui semangkuk Bubur Telur Cikini H.R Suleman dan semangkuk Bakmi Roxy.

Nanti selanjutnya,mencicipi kuliner lain di sepanjang Cikini Jadi, yuk mampir ke Cikini!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun