Pintu masuk ini berwarna coklat besar, dilengkapi ukiran nama Masjid Babah Alun yang menggunakan Bahasa Mandarin di atas pintu. Masji Babah Alun didirikan oleh seorang pengusaha mualaf keturunan Tionghoa Muhammad Jusuf Hamka.
Unik karena semua keterangan tertulis dalam tiga bahasa. Di ruang wudhu, juga terdapat tata cara dan gerakan wudhu. Namun gambarnya menggunakan orang berpakaian dan berpenampilan mandarin.
Bila memasuki area dalam masjid, pengunjung masih bisa menyaksikan kaligrafi dengan bahasa Mandarin untuk 99 Asmaul Husna. Kekhasan yang dimiliki masjid yang dibangun pada tahun 2017 ini adalah keunikannya. "Baru kali ini datang ke masjid yang nuansa Tionghoa-nya terasa sekali," kata Siti, salah seorang kawan yang menjadi barengan.
Usai mengunjungi Masjid Ramlie Musofa dan Masjid Babah Alun, perjalanan berlanjut ke Jakarta Islamic Centre (JIC), yang berada di Koja. Di lokasi ini, tak hanya masjid yang ada. Banyak kegiatan lain dilakukan di lahan yang sangat luas mencapai 109 m2. Mulai dari kegiatan keagamaan hingga sekedar berkunjung.
Dulunya, lokasi masjid ini berdiri adalah tempat lokalisasi Kramat Tunggak dan terkenal sebagai tempat pelacuran terbesar di Jakarta sejak tahun 1970. Namun, semua itu berubah sejak tahun 1999, ketika zaman Gubernur Sutiyoso menutup lembaran kelam lokasi yang dulunya digunakan mencari nafkah para pekerja seks komersial (PSK). Mengubahnya menjadi tempat ibadah dan kegiatan yang positif bagi masyarakat.
Di area halaman masjid JIC, banyak masyarakat yang duduk-duduk, baik laki-laki dan perempuan. Anak-anak kecil berlarian ataupun para bayi yang sedang belajar merangkak di halaman masjid yang memang luas dan sejuk. Pandangan mata memang terasa sangat lapang.
Saat kami datang, sayangnya ada pengumuman peringatan untuk hati-hati melintas di area menara masjid JIC karena kondisi kubah menara masjid yang miring. Ah ya, kondisi ini bisa saja membahayakan pengunjung yang kebetulan melewati bawah kubah. Semoga cepat diperbaiki.