Jakarta Utara, mendengarnya langsung teringat pada pelabuhan Tanjung Priok dan kawasan Ancol. Legenda Betawi Si Pitung pun disebut pernah singgah di Marunda. Belum lagi, Kampung Tugu yang menjadikan kota pesisir ini kaya wisata sejarah. Kini, wilayah ini juga menarik sebagai wisata religi.
Ya, Wisata Religi. Itulah yang seharian saya dan dua kawan lakukan di akhir pekan yang cerah, Minggu 24 Juni 2018. Ternyata, pilihan yang tepat. Meski ramadan telah usai dan perayaan Idul Fitri juga telah selesai, tapi semangat untuk mendatangi masjid-masjid tak surut.Â
Tiga masjid yang terletak di Jakarta Utara, yang kebetulan jarak lokasinya tidak begitu berjauhan, sukses kami kunjungi. Meskipun warga Jakarta, tak berarti semua masjid sudah kami datangi.
Jumlah masjid di ibukota negara ini sangatlah banyak, meski yang lebih sering menjadi lokasi wisata religi adalah mesjid lama yang mengandung nilai sejarah dan masjid yang memiliki keunikan.Â
Haha. Berkat jelajah  yang dilakukan, semudah itu saya dan dua kawan, yakni Titis dan Siti memperoleh teman baru. Bermula dari keinginan untuk berfoto bersama, tetapi ternyata hasil selfie tidaklah memuaskan. Tetap membutuhkan pertolongan orang lain untuk mengabadikan momen. Jadilah berkenalan dengan Dewi, seorang pengunjung asal Pancoran, yang kebetulan juga membutuhkan bantuan yang sama.Â
Berfoto di lokasi masjid yang memang instagrammable memang sayang dilewatkan di setiap sudutnya. Bisa lebih awet menyimpan kenangan dalam bentuk foto-foto yang bisa diupload di media sosial ataupun dicetak, jika ingin.
Ada tiga masjid yang kami datangi seharian itu, yakni Masjid Ramlie Musofa, Masjid Babah Alun, dan Masjid Jakarta Islamic Centre. Ketiga masjid ini masing-masing memiliki kisah menarik yang bisa ditarik hikmahnya. Selain tentunya, memang ketiga masjid itu sangat menarik dari segi visual.
Saat sampai di Masjid Ramlie Musofa, Jl. Danau Sunter Raya, pesona bangunan masjid yang berwarna putih dan megah langsung terlihat. Sudah banyak pengunjung lain yang sedang berfoto-foto di masjid yang megah ini.
Baik di depan masjid, di area halaman masjid, di tangga masjid yang menuju tempat salat, di dekat beduk, di depan piagam peresemian, di dalam masjid, hingga di tempat berwudhu.
Masjid satu ini memang di setiap sudutnya sangat menggoda untuk berfoto-foto. Di dinding pagar, ada tulisan surat Al Qariah. Di dinding sisi kanan dan sisi kiri tangga menuju tempat salat ada tulisan ayat-ayat dalam surat Al Fatihah, yang dilengkapi dengan terjemahan bahasa Indonesia dan aksara China.
Pantas saja di buku tamu, tidak sedikit para pengunjung menuliskannya sebagai wisata religi di masjid yang keindahan bentuknya diserupakan dengan Taj Mahal. Di dalam masjid tiga lantai yang memiliki delapan pilar dengan langit-langit masjid yang terletak di tengahnya bertuliskan surat Al A'la dan tulisan Asmaul Husna.
Suatu hal yang masih belum banyak ditemukan di masjid-masjid lain. Ah, saya jadi ingat seorang kawan yang pernah stroke dan merindukan adanya masjid-masjid yang ramah difabel di Jakarta. Tidak membuat kesulitan untuk mencapai ruang salat yang biasanya melalui tangga. Seandainya di datang ke masjid seperti ini pasti sangat bahagia.
Hal yang menarik adalah saat di tempat wudhu, yang dilengkapi dengan gambar dan tata cara gerakan dalam tiga bahasa. Di tempat wudhu yang bisa dilakukan sembari duduk ini, di dindingnya tertera doa wudhu.
Masjid yang di atas kubahnya bertuliskan Allah ini, diresmikan Minggu 15 Mei 2016 oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr H Nasarudin Umar, MA. Pemiliknya adalah H Ramli Rasidin, seorang mualaf.
Masjid Babah Alun
Unik. Itulah sebutan yang tepat masjid Babah Alun, yang terletak di bawah kolong tol Wiyoto Wiyono, Jakarta Utara. Teparnya di Gg 21, Papanggo. Inilah masjid kedua yang kami datangi siang itu.
Semilir angin yang menyejukkan di bawah kolong tol menghilangkan penat dan panas siang. Pantas saja, beberapa perempuan dan laki-laki terlihat duduk terkantuk-kantuk di pelatarannya.
Masjid satu ini memang menjadi salah satu tujuan karena pemberitaannya di berbagai media sangat sering di bulan puasa. Masjid Babah Alun sangat bernuansa Oriental. Kentalnya suasana Tionghoa jelas terlihat langsung dari tampak depan masjid secara keseluruhan.
Pintu masuk ini berwarna coklat besar, dilengkapi ukiran nama Masjid Babah Alun yang menggunakan Bahasa Mandarin di atas pintu. Masji Babah Alun didirikan oleh seorang pengusaha mualaf keturunan Tionghoa Muhammad Jusuf Hamka.
Unik karena semua keterangan tertulis dalam tiga bahasa. Di ruang wudhu, juga terdapat tata cara dan gerakan wudhu. Namun gambarnya menggunakan orang berpakaian dan berpenampilan mandarin.
Bila memasuki area dalam masjid, pengunjung masih bisa menyaksikan kaligrafi dengan bahasa Mandarin untuk 99 Asmaul Husna. Kekhasan yang dimiliki masjid yang dibangun pada tahun 2017 ini adalah keunikannya. "Baru kali ini datang ke masjid yang nuansa Tionghoa-nya terasa sekali," kata Siti, salah seorang kawan yang menjadi barengan.
Usai mengunjungi Masjid Ramlie Musofa dan Masjid Babah Alun, perjalanan berlanjut ke Jakarta Islamic Centre (JIC), yang berada di Koja. Di lokasi ini, tak hanya masjid yang ada. Banyak kegiatan lain dilakukan di lahan yang sangat luas mencapai 109 m2. Mulai dari kegiatan keagamaan hingga sekedar berkunjung.
Dulunya, lokasi masjid ini berdiri adalah tempat lokalisasi Kramat Tunggak dan terkenal sebagai tempat pelacuran terbesar di Jakarta sejak tahun 1970. Namun, semua itu berubah sejak tahun 1999, ketika zaman Gubernur Sutiyoso menutup lembaran kelam lokasi yang dulunya digunakan mencari nafkah para pekerja seks komersial (PSK). Mengubahnya menjadi tempat ibadah dan kegiatan yang positif bagi masyarakat.
Di area halaman masjid JIC, banyak masyarakat yang duduk-duduk, baik laki-laki dan perempuan. Anak-anak kecil berlarian ataupun para bayi yang sedang belajar merangkak di halaman masjid yang memang luas dan sejuk. Pandangan mata memang terasa sangat lapang.
Saat kami datang, sayangnya ada pengumuman peringatan untuk hati-hati melintas di area menara masjid JIC karena kondisi kubah menara masjid yang miring. Ah ya, kondisi ini bisa saja membahayakan pengunjung yang kebetulan melewati bawah kubah. Semoga cepat diperbaiki.
Masih banyak masjid-masjid yang ada di Jakarta belum dikunjungi. Jakarta Utara memiliki banyak masjid lain yang juga punya cerita. Misalnya saja Masjid Al Alam Marunda, yang terkenal dengan legenda Betawi Si Pitung. Tidak cukup sehari atau dua hari untuk menjelajahinya satu persatu.
Kesadaran masyarakat Jakarta untuk melakukan wisata religi semakin tinggi. Sejumlah komunitas ada yang memiliki agenda untuk mengunjungi rumah-rumah ibadah. Salah satunya masjid. Kunjungan ke tiga masjid kali ini di akhir pekan cerah, yang dua di antaranya, yakni Ramlie Musofa dan Babah Alun dibangun oleh mualaf, serta Jakarta Islamic Centre (JIC ) yang dulunya bekas lokalisasi pelacuran memberikan pelajaran dan kenangan yang akan terus tersimpan.Â
Hingga saat ini melakukan wisata religi dengan berkunjung langsung sendiri ke masjid tidak dikenakan biaya apapun. Kalau bersama dengan komunitas, tergantung pada kebijakan komunitas itu. Meski demikian, alangkah baiknya untuk mengisi kotak amal yang ada sesuai dengan kemampuan sebagai amal dan upaya membantu perawatan masjid. (rwindhu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H