Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Sikap dan Budaya Sadar Bencana Melalui Radio di Negeri Rawan Multi Bencana

6 Juli 2017   23:59 Diperbarui: 7 Juli 2017   00:44 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sandiwara Radio Asmara di Tengah Bencana 2 akan disiarkan melalui radio yang ada di Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa, mulai Jumat 7 Juli 2017 (gambar:materiBNPB)

Dua Lelaki itu duduk menatap lereng merapi yang mengepulkan asap. Mereka adalah Ki Reksonowolo dan Ki Lurah Jatisari. Mereka hendak bertemu dengan eyang merapi yang sedang murka, sehingga menyebabkan seluruh warga desa Jatisari akhirnya harus mengungsi meninggalkan desa. Terpaksa hidup dengan mendirikan gubuk-gubuk darurat.

Bertemukah dengan eyang merapi? Dengan terkekeh pelan kepada kerabatnya, Ki Lurah Jatisari mengatakan, jika sebenarnya eyang merapi itu ada di dalam hati kita masing-masing.

"Eyang merapi wujudnya adalah pribadi kita. Nah, kalau kita sayang kepada bumi warisan leluhur, pasti kita akan merawatnya dengan baik. Kita tidak akan membuang sampah sembarangan. Kita tidak akan menebang pohon sembarangan, dan membunuh binatang-binatang hutan dengan semena-mena. Kita tidak akan merusak mahluk hidup yang lain. Kita tidak akan merusak lingkungan. Sebab kalau lingkungan rusak, maka sumber-sumber air pun kering," tutur Ki Lurah Jatisari panjang lebar.

Dialog yang saya dengar dari Sandiwara Radio Asmara di Tengah Bencana (ADB) I, tayangan  ke-47 melalui youtube BNPB TV itu mengandung pesan yang sangat kuat.

Meski sandiwara radio ADB I yang berjumlah total 50 episode ini telah selesai diputar pada tahun 2016,  di 20 stasiun radio yang terdiri dari 18 radio lokal dan 2 radio komunitas yang ada di pulau Jawa, masyarakat masih dapat menikmatinya melalui BNPB TV.

Melalui sandiwara radio ADB, tak hanya kisah asmara yang didengarkan. Komunikasi pesan mengenai waspada bencana dari pemberi pesan (Badan Nasional Penanggulangan Bencana)  kepada penerima pesan (masyarakat pendengar) tersampaikan dengan lebih mudah.

Sebuah pesan melalui sandiwara radio untuk waspada terhadap kemungkinan adanya suatu bencana yang bisa saja terjadi dimana saja dan kapan saja tanpa ada sebuah pemberitahuan sebelumnya. Menyadarkan masyarakat tentang penyebab bencana, sekaligus tetap siaga menyiapkan diri bila terjadi bencana.

Tidak dengan nada menggurui atau banyak berteori mengenai bencana, sandiwara radio berupa roman sejarah berlatar belakang kerajaan Mataram, terasa asyik untuk didengarkan.

Manusia hidup dengan cinta dan siapapun suka dengan kisah cinta. Karenanya, sandiwara radio dijalin dengan kisah cinta sepasang anak manusia dengan perbedaan status sosial, Raden Mas Jatmiko yang merupakan anak Tumenggung dinilai tidak pantas menjalin cinta dengan  Setyaningsih, yang hanya anak seorang Lurah Jatisari.   

ADB 2 ditayangkan sebanyak 100 episode (instagramBNPB)
ADB 2 ditayangkan sebanyak 100 episode (instagramBNPB)
Sandiwara Radio ADB 2

Keberhasilan penayangan sandiwara radio Asmara di Tengah Bencana (ADB) I sebanyak 50 episode pada tahun 2016 yang dinyatakan memikat sebanyak  43 juta jiwa pendengar inilah, yang membuat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melanjutkan dan memproduksi Sandiwara Radio ADB 2.

Mulai Jumat tanggal 7 Juli 2017, Sandiwara Radio Asmara di Tengah Bencana (ADB) 2 mulai ditayangkan di 60 kab/kota di Jawa Pulau Jawa saja, di 20 kab/kota  di luar Jawa dan 20 radio komunitas

Tidak tanggung-tanggung, sandiwara radio ADB 2 ini akan disiarkan sebanyak 100 episode dalam durasi sekitar 30 menit setiap episode. Jumlah episode yang  jumlahnya dua kali lipat.

Akankah ADB 2 akan dinilai sesukses ADB I? Saya rasa penikmatnya akan semakin banyak karena drama radio ini tetap digarap oleh mereka yang mumpuni  mulai dari S.Tidjab (naskah), sutradara, penata suara, hingga pengisi suara. Mereka semua yang terlibat sudah berpengalaman  dalam sandiwara radio yang pernah populer sebelumnya.

Radio dan Edukasi Bencana

Saur Sepuh, Misteri Gunung Merapi, dan Tutur Tinular sangat terkenal pada tahun 1980-an dan 1990-an.  Melalui tayangan udara, para pendengar sandiwara dapat menikmati roman sejarah.

Nada bicara, penyampaian kisah, dan musik yang mengiringi membawa pendengarnya untuk masuk ke dalam cerita dan membayangkan yang terjadi melalui pendengaran.Dulu, saya bersama orang tua juga mendengarkan secara rutin sandiwara radio Misteri Gunung Merapi.

Kini melalui cerita Asmara di Tengah Bencana (ADB) I, saya pun dapat membayangkan peristiwa yang terjadi akibat gemuruh gunung merapi yang tengah meletus,  suara derap kaki kuda saat membawa rombongan tumenggung dan pasukan Mataram, ataupun dentingan beradunya sendok dan garpu saat sedang bersantap.

Sesuai dengan namanya sandiwara radio, tentu saja sandiwara ini ditayangkan melalui radio. Memang, saat ini bentuk media untuk menyampaikan komunikasi ataupun edukasi semakin banyak.

Ada media cetak (poster, leaflet, flyer,brosur, buku, tabloid, majalah, koran), media online (situs, social media, twitter, facebook), media penyiaran (radio dan televisi),

media tradisional (pertunjukan seni tradisional rakyat, wayang, reog sunda, media luar ruang (baliho, banner, spanduk, umbul-umbul, videotron, pameran),media tatap muka (forum komunikasi pertemuan, jumpa pers, media gathering, seminar, workshop, diskusi).    

Meski demikian, media penyiaran tetap berperan.  Radio memiliki jangkauan yang sangat luas dan dapat didengar hingga pelosok dengan biaya yang sangat murah. Setiap hari, informasi berita yang di antaranya mengenai  bencana  dari berbagai daerah dengan mudah didengarkan. Hanya membutuhkan aliran listrik atau baterai.

Salah satu informasi bencana yang ramai disiarkan radio pada Juli 2017 ini adalah mengenai Kawah Sileri yang berada di Kompleks Gunung Dieng, di desa Kepakisan, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, yang tiba-tiba meletus pada Minggu 2 Juli.   

Meningkatkan Kesadaran Bencana

Membangun kultur/budaya sadar bencana memerlukan upaya yang berkelanjutan dan lintas generasi. Dr. Sutopo Purwo Nugroho M.Si, APU, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional PenanggulanganBencana (BNPB) dalam materi Membangun Budaya Sadar Bencana Melalui Radio mengatakan, pengetahuan masyarakat  terkait bencana telah meningkat sejak tsunami Aceh 2014.

Namun pengetahuan ini belum meningkat menjadi sikap dan perilaku. Budaya sadar bencana masih rendah sehingga perlu terus ditingkatkan. Antropolog Indonesia Prof Dr Koentjaraningrat dalam Sejarah Antropologi (1987) memasukkan orang Indonesia dalam kelompok tradisional yang pasrah terhadap alam dan sebagian kelompok transformasi yang berusaha mencari keselarasan dengan alam.

Seperti dikutip dari Merespons Alam Kompas.com, sekalipun mengantongi telepon genggam terbaru dengan fasilitas ramalan cuaca, orang Indonesia cenderung pasrah terhadap alam. Mereka akan menunggu alam bekerja dan malas menyiapkan diri menghadapinya.Tak mengherankan jika mitigasi bencana, yang bisa dimaknai upaya menyiapkan diri menghadapi risiko bencana, tidak menjadi prioritas.

Padahal,  Indonesia rawan bencana alam karena kondisi seismo-tektonik menyebabkan rawan gempa, tsunami, dan gunung meletus.

Posisi geografis di tropis  yang berbentuk kepulauan dan di antara samudera juga menyebabkan rawan bencana hidrometerologi. Kondisi ini ditambah tingginya kerentanan ditambah masih rendahnya kapasitas sehingga risiko bencana tinggi.

Menurut  UU No. 24/ 2007 tentang penanggulangan bencana, Bab I ketentuan umum, pasal 1, disebutkan beragam jenis bahaya di Indonesia, yakni  bencana alam (7) , meliputi gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, tanah longsor. Bencana non alam (4), meliputi gagal teknologi, kebakaran hutan/lahan, epidemi, wabah penyakit.Bencana sosial (2), berupa kelompok sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, teror

Di sisi lain, trend bencana di Indonesia (2002-2016) meningkat. BNPB menyampaikan sekitar 95 % bencana didominasi oleh bencana hidrometereologi, seperti banjir, longsor, kekeringan, puting beliung, cuaca ekstrem, dan karhutla.

Rata-rata kerugian dan kerusakan akibat bencana diperkirakan Rp. 30 trilyun, kerugian ekonomi ini di luar bencana besar. Kerugian ekonomi akibat karhutla 2014 mencapai Rp221 Trilyun atau setara dengan 1,9 % GNP Indonesia.

Dana cadangan  penanggulangan bencana  pemerintah setiap tahun Rp.4 Triliun. Jauh bila dibandingkan dengan kebutuhan untuk penaganan pasca bencana

Ubah Sikap dan Perilaku Tanpa Memaksa

BNPB memiliki  fungsi koordinasi, komando, dan pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. BNPB menyadari perlunya pola penanggulangan bencana dilakukan secara simultan mulai dari pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana.

Penyadaran waspada bencana terhadap masyarakat luas yang memiliki beragam latar belakang memerlukan media penyampaian yang mudah dipahami.

Hal ini menilik pada  beberapa kejadian bencana di Indonesia jika mitigasi bencana mampu mengurangi jumlah korban bencana.

Contohnya adalah saat jebolnya bendungan alam Way Ela yang menimbulkan banjir bandang (tsunami kecil) di Maluku Tengah, 25 Juli 2013 dan erupsi gunung kelud di Jawa Timur pada 13-2-2014. Mitigasi bencana berhasil menyelamatkan 90.000 jiwa masyarakat evakuasi dengan aman dan tertib.

Kearifan lokal masyarakat Indonesia dalam mengantisipasi bencana sebenarnya cukup membantu, seperti  Smog untuk mengantisipasi tsunami di Pulau Simelue Aceh, Teteu di masyarakat Mentawai untuk mengantisipasi tsunami, arsitektur di minangkabau dalam bentuk rumah gadang yang telah lama dipakai di Sumatra Barat, yang  telah mengadopsi teknik bangunan tahan gempa, maupun rumah joglo yang dapat meredam gempa.

Kearifan lokal masyarakat dalam membaca tanda-tanda alam seperti perubahan air menjadi panas dan turunnya sejumlah binatang dari gunung, kini dipadu dengan kemajuan ilmu pengetahuan teknologi. Sayangnya,  masyarakat belum percaya sepenuhnya teknologi sistem peringatan dini.

Karena itu, sosialisasi sadar bencana dilakukan dengan berbagai cara oleh BNPB. Selain melalui sandiwara radio BNPB yang disiarkan 100 episode  di 60 kab/kota di Jawa, 20 kab/kota  di luar Jawa, 20 radio komunitas, juga melalui 300 episode iklan layanan masyarakat.

Sosialisasi budaya sadar bencana  juga digencarkan melalui kesenian rakyat dan BNPB/BPBD mengajar di  4 kabupaten Garut, Blora, Purworejo, Trenggalek. Ribuan masyarakat antusias mendatangi acara yang bersifat edutainment.

Dari semua media itu, radio sangat berperan secara luas memberikan edukasi ke berbagai daerah untuk mengubah sikap dan perilaku tanpa memaksa. Melalui bentuk sandiwara radio, masyarakat dapat mendengarkannya sambil beraktivitas.

Bahkan, sandiwara radio juga dengan mudah dapat dinikmati melalui radio dari telepon genggam dan channel youtube BNPB TV. Sandiwara radio memang tak pernah usang dan selalu menghadirkan nostalgia.

Sebuah radio swasta di Jakarta, bahkan menyajikan tayangan film radio dengan menampilkan para artis sebagai pengisi suara. Hal ini dapat menjadi masukan bagi BNPB jika sandiwara radio sadar bencana masih bisa dikemas dengan lebih memikat. Selain tentunya, perlu dengan kisah yang diperluas,  tak hanya gunung meletus. Radio merupakan sarana membangun sikap dan budaya sadar bencana di negara rawan multi bencana, seperti Indonesia.

Sumber 

Materi Budaya Sadar Bencana Melalui radio  

Merespons Alam

Facebook

Twitter

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun