Salah satu informasi bencana yang ramai disiarkan radio pada Juli 2017 ini adalah mengenai Kawah Sileri yang berada di Kompleks Gunung Dieng, di desa Kepakisan, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, yang tiba-tiba meletus pada Minggu 2 Juli. Â Â
Meningkatkan Kesadaran Bencana
Membangun kultur/budaya sadar bencana memerlukan upaya yang berkelanjutan dan lintas generasi. Dr. Sutopo Purwo Nugroho M.Si, APU, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional PenanggulanganBencana (BNPB) dalam materi Membangun Budaya Sadar Bencana Melalui Radio mengatakan, pengetahuan masyarakat  terkait bencana telah meningkat sejak tsunami Aceh 2014.
Namun pengetahuan ini belum meningkat menjadi sikap dan perilaku. Budaya sadar bencana masih rendah sehingga perlu terus ditingkatkan. Antropolog Indonesia Prof Dr Koentjaraningrat dalam Sejarah Antropologi (1987) memasukkan orang Indonesia dalam kelompok tradisional yang pasrah terhadap alam dan sebagian kelompok transformasi yang berusaha mencari keselarasan dengan alam.
Seperti dikutip dari Merespons Alam Kompas.com, sekalipun mengantongi telepon genggam terbaru dengan fasilitas ramalan cuaca, orang Indonesia cenderung pasrah terhadap alam. Mereka akan menunggu alam bekerja dan malas menyiapkan diri menghadapinya.Tak mengherankan jika mitigasi bencana, yang bisa dimaknai upaya menyiapkan diri menghadapi risiko bencana, tidak menjadi prioritas.
Padahal, Â Indonesia rawan bencana alam karena kondisi seismo-tektonik menyebabkan rawan gempa, tsunami, dan gunung meletus.
Posisi geografis di tropis  yang berbentuk kepulauan dan di antara samudera juga menyebabkan rawan bencana hidrometerologi. Kondisi ini ditambah tingginya kerentanan ditambah masih rendahnya kapasitas sehingga risiko bencana tinggi.
Menurut  UU No. 24/ 2007 tentang penanggulangan bencana, Bab I ketentuan umum, pasal 1, disebutkan beragam jenis bahaya di Indonesia, yakni  bencana alam (7) , meliputi gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, tanah longsor. Bencana non alam (4), meliputi gagal teknologi, kebakaran hutan/lahan, epidemi, wabah penyakit.Bencana sosial (2), berupa kelompok sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, teror
Di sisi lain, trend bencana di Indonesia (2002-2016) meningkat. BNPB menyampaikan sekitar 95 % bencana didominasi oleh bencana hidrometereologi, seperti banjir, longsor, kekeringan, puting beliung, cuaca ekstrem, dan karhutla.
Rata-rata kerugian dan kerusakan akibat bencana diperkirakan Rp. 30 trilyun, kerugian ekonomi ini di luar bencana besar. Kerugian ekonomi akibat karhutla 2014 mencapai Rp221 Trilyun atau setara dengan 1,9 % GNP Indonesia.
Dana cadangan  penanggulangan bencana  pemerintah setiap tahun Rp.4 Triliun. Jauh bila dibandingkan dengan kebutuhan untuk penaganan pasca bencana