Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Sikap dan Budaya Sadar Bencana Melalui Radio di Negeri Rawan Multi Bencana

6 Juli 2017   23:59 Diperbarui: 7 Juli 2017   00:44 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu informasi bencana yang ramai disiarkan radio pada Juli 2017 ini adalah mengenai Kawah Sileri yang berada di Kompleks Gunung Dieng, di desa Kepakisan, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, yang tiba-tiba meletus pada Minggu 2 Juli.   

Meningkatkan Kesadaran Bencana

Membangun kultur/budaya sadar bencana memerlukan upaya yang berkelanjutan dan lintas generasi. Dr. Sutopo Purwo Nugroho M.Si, APU, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional PenanggulanganBencana (BNPB) dalam materi Membangun Budaya Sadar Bencana Melalui Radio mengatakan, pengetahuan masyarakat  terkait bencana telah meningkat sejak tsunami Aceh 2014.

Namun pengetahuan ini belum meningkat menjadi sikap dan perilaku. Budaya sadar bencana masih rendah sehingga perlu terus ditingkatkan. Antropolog Indonesia Prof Dr Koentjaraningrat dalam Sejarah Antropologi (1987) memasukkan orang Indonesia dalam kelompok tradisional yang pasrah terhadap alam dan sebagian kelompok transformasi yang berusaha mencari keselarasan dengan alam.

Seperti dikutip dari Merespons Alam Kompas.com, sekalipun mengantongi telepon genggam terbaru dengan fasilitas ramalan cuaca, orang Indonesia cenderung pasrah terhadap alam. Mereka akan menunggu alam bekerja dan malas menyiapkan diri menghadapinya.Tak mengherankan jika mitigasi bencana, yang bisa dimaknai upaya menyiapkan diri menghadapi risiko bencana, tidak menjadi prioritas.

Padahal,  Indonesia rawan bencana alam karena kondisi seismo-tektonik menyebabkan rawan gempa, tsunami, dan gunung meletus.

Posisi geografis di tropis  yang berbentuk kepulauan dan di antara samudera juga menyebabkan rawan bencana hidrometerologi. Kondisi ini ditambah tingginya kerentanan ditambah masih rendahnya kapasitas sehingga risiko bencana tinggi.

Menurut  UU No. 24/ 2007 tentang penanggulangan bencana, Bab I ketentuan umum, pasal 1, disebutkan beragam jenis bahaya di Indonesia, yakni  bencana alam (7) , meliputi gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, tanah longsor. Bencana non alam (4), meliputi gagal teknologi, kebakaran hutan/lahan, epidemi, wabah penyakit.Bencana sosial (2), berupa kelompok sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, teror

Di sisi lain, trend bencana di Indonesia (2002-2016) meningkat. BNPB menyampaikan sekitar 95 % bencana didominasi oleh bencana hidrometereologi, seperti banjir, longsor, kekeringan, puting beliung, cuaca ekstrem, dan karhutla.

Rata-rata kerugian dan kerusakan akibat bencana diperkirakan Rp. 30 trilyun, kerugian ekonomi ini di luar bencana besar. Kerugian ekonomi akibat karhutla 2014 mencapai Rp221 Trilyun atau setara dengan 1,9 % GNP Indonesia.

Dana cadangan  penanggulangan bencana  pemerintah setiap tahun Rp.4 Triliun. Jauh bila dibandingkan dengan kebutuhan untuk penaganan pasca bencana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun