Emma Nedi menyayangkan masyarakat masih menganggap sungai sebagai tempat sampah tersebesar. Akibatnya, selain berkualitas buruk, Â sungai-sungai di Jakarta semakin dangkal dan menjadi penyebab banjir.
Sejak awal Tahun 2016, PALYJA menggunakan teknologi Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR) yang memanfaatkan mikroorganisme alami yang hidup di dalam air untuk mengeliminasi polutan amonia, deterjen, dan mangan.
MBBR merupakan teknologi pertama di Asia Tenggara. PALYJA menjadi operator pengolahan air pertama di Indonesia yang menerapkan teknologi ini, mengadopsi dari SUEZ, selaku pemegang saham PALYA terbesar.
Sebelumnya, MBBR pertama kali digunakan oleh PALYJA di instalasi pengambilan Air Baku Kanal Banjir Barat pada Tahun 2015, yang diresemikan pembukaannya oleh Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama.
Hasil pengolahan air sungai di Instalasi Pengambilan Air Baku Banjir Kanal Barat dengan teknologi MBBR menunjukkan sebanyak 87 % polutan amonium, deterjen, dan mangan dapat dihilangkan.
Mengingat IPA Cilandak hanya didesain untuk mengolah air secara konvensional dan bukan untuk mengolah air baku dengan kadar polutan tinggi, maka teknologi MBBR pun diterapkan di IPA Cilandak.
Teknologi MBBR di IPA Cilandak sedang memasuki percobaan/trial sebelum digunakan sepenuhnya dalam proses pengolahan air bersih. Sejak awal tahun 2016 hingga bulan Desember 2016, Â pengerjaannya telah mencapai 95 %.Penerapan teknologi MBBR di IPA Cilandak diharapakan dapat menurunkan konsentrasi amobia hingga mencapai 70 % dengan kadar amonia dalam air baku mencapai 3 mg/L.
Rombongan Kompasianer tiba di IPA Cilandak siang hari. Deretan pepohonan yang teduh langsung menyapa. Satu pemandangan yang sangat mencolok di depan mata adalah banyaknya penanda level banjir.
Kepala IPA Cilandak Rizki Galuh Darmadi mengatakan, IPA Cilandak yang terletak di JL. RA Kartini, Kelurahan Cilandak Timur, Kecamatan Pasar Minggu,Jakarta Selatan, Â selalu mengalami banjir sejak tahun 2006. Semakin lama ketinggian banjir semakin meningkat. Pada 17 Agustus 2016 lalu, luapan Kali Krukut yang mencapai ketinggian 4,2 meter, memaksa IPA Cilandak untuk menghentikan produksi selama satu minggu. Saat itu, sebanyak 32 daerah tidak dapat memperoleh pasokan air bersih.