SETIAP kali membicarakan BPJS Kesehatan, ingatan saya langsung melayang kepada mbak Yani. Perempuan ceria bertubuh tinggi yang harus menerima kenyataan mengidap penyakit kanker serviks, selama setahun terakhir dalam hidupnya. Sepanjang tahun itu pula mbak Yani menjalani rangkaian pengobatan, tranfusi darah, hingga penyinaran akibat penyakitnya. Untungnya, kekhawatiran akan besarnya biaya pengobatan sangat terbantu karena adanya BPJS Kesehatan.
Saya pun masih ingat saat mbak Yani rajin bolak balik untuk kontrol pengobatan di RS Kanker Dharmais, Jakarta. Mbak Yani, kisahnya pernah saya tulis disini, semula tinggal di Tangerang, Banten, akhirnya menyewa sebuah kamar kecil di sebelah rumah saya di Slipi, Jakarta. Dia menjalani rutin pengobatan di rumah sakit khusus kanker itu sesuai dengan jadwal kunjungan dokter. Tak peduli terkadang harus mendapatkan nomor antrian pada angka puluhan.
Saat itu, Mbak Yani tetap berupaya dapat sembuh dan bersyukur dapat menjalani rangkaian pengobatan yang disadarinya akan membutuhkan biaya yang sangat banyak. “Orang sakit itu butuh berobat. Kalau nggak ada yang seperti ini, nggak tahu bagaimana caranya berobat,” ujarnya kala itu, seingat saya.
Mbak Yani, memang sudah berpulang ke Illahi sejak 9 Mei 2016 lalu. Itu kehendak Yang Maha Kuasa. Namun, saya tahu betul jika mbak Yani sudah melakukan ikhtiar yang terbaik dengan melakukan pengobatan. Stadium kanker leher rahim yang diidapnya sudah stadium 3 B saat pertama kali diketahui.
Kondisi tubuhnya semakin hari semakin tidak kuat lagi dan semakin kurus, sehingga lebih dari satu bulan terakhir hidupnya harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Darimana biaya untuk rawat inap selama itu? Tentu saja dari BPJS Kesehatan karena Mbak Yani adalah salah satu pesertanya.
Sebelum akhirnya menggunakan BPJS Kesehatan, mbak Yani sempat ragu dan takut memeriksakan diri ke rumah sakit. Padahal di saat yang sama, mbak Yani juga gelisah karena lebih dari satu bulan mengalami pendarahan datang bulan (haid) yang tidak kunjung berhenti, saat ingin menunaikan ibadah puasa tahun 2015. Sempat berobat ke alternatif, mbak Yani akhirnya tidak kuasa menahan sakit yang melilit pada bagian perutnya. Kulit perutnya terasa sangat panas jika dipegang tangan.
Ah, terkadang saya berandai-andai mbak Yani tidak terlambat memeriksakan diri ke dokter sehingga stadium kankernya dapat diketahui sejak dini. Selain memang ketidaktahuan mengenai penyakit itu, penyebab keterlambatan berobat juga lantaran khawatir dengan biaya berobat yang tinggi. Mbak Yani takut dengan rangkaian pengobatan yang akan memakan biaya yang sangat mahal.
Biaya Kesehatan yang Menakutkan
Biaya kesehatan. Sejak dulu hingga kini selalu masih menjadi hal yang sangat menakutkan buat siapa pun. Takut mahal. Takut mengeluarkan biaya yang banyak, sedangkan di saat yang sama banyak kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Saya kira, bukan hanya pada mbak Yani saja. Saya pun juga khawatir dengan biaya kesehatan yang semakin mahal.
Banyak cerita jika pengobatan suatu penyakit akan benar-benar menghabiskan sangat banyak biaya. Banyak obrolan pula, demi pengobatan, orang harus menjual ini dan itu sehingga standar hidupnya pun terpaksa menurun. Itu bagi yang memiliki harta dan biaya.
Lalu bagaimana jika yang penghasilannya pas-pasan? Membayangkan harus berobat saja sudah bingung, maka tak heran jika kemudian banyak orang yang menunda-nunda untuk berobat. Apalagi, jika menyadari penyakit yang diidapnya bukanlah penyakit biasa. Penyakit yang memerlukan biaya mahal dan waktu pengobatan yang cukup lama, seperti kanker. Penyakit yang tak hanya memberikan tekanan karena berujung pada kematian, namun juga memberikan beban ekonomi.
Bayangkan, untuk pengobatan penyakit kanker, biayanya dapat mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah.Semua itu diperlukan untuk biaya obat, perawatan, tranfusi darah, dan tindakan. Belum termasuk biaya lain, seperti biaya transportasi dan biaya sehari-hari pendamping bagi yang sakit. Darimana harus mengeluarkan biaya yang sebanyak itu?
Setidaknya, kehadiran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sejak 1 April 2014 tidak bisa dipungkiri telah begitu banyak membantu para pasien penderita suatu penyakit dalam mengurangi beban biaya. Begitu pun halnya dengan risiko kecelakaan atau kematian yang dapat saja terjadi sewaktu-waktu.
Adanya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sangat membantu masyarakat membutuhkan pelayanan kesehatan. Selain karena untuk mendapatkan jaminan sosial merupakan hak konstitusional setiap orang, hal ini juga merupakan kewajiban negara.
Semua ini sesuai dengan Pasal 28 H ayat 3, UUD 1945, yang menyatakan setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat.
Selain juga mengacu pada pasal 34 ayat 2, yakni negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah, dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Perjalanan sistem Jaminan Kesehatan di Indonesia dimulai sejak Menteri Kesehatan Prof. Dr. GA Siwabessi pada tahun 1966-1978. Tujuannya mencakup semesta. Hingga barulah pada tahun 2014 badan penyelenggaraan jaminan sosial dapat berjalan, sesuai landasan hukum UU No.24/2011. Ke depannya, pada 1 Januari 2019, nantinya sudah mencakup seluruh masyarakat Indonesia sudah memiliki SJSN.
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sendiri memiliki 3 Azas, yakni kemanusiaan, manfaat, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu juga memiliki 5 program, yakni Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian.
Selain itu, SJSN juga memiliki 9 Prinsip, yakni kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan wajib, dana amanat. Hasil pengelolaan dana digunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.
Untuk membangun dan mewujudkan Indonesia yang lebih sehat, seluruh penduduk Indonesia juga diharapkan dapat aktif bergotong royong menyukseskan program JKN-KIS.
Menjadi peserta BPJS Kesehatan sangatlah tidak sulit. Bahkan bisa dikatakan sangat dimudahkan. Kenapa? Hingga kini, BPJS Kesehatan tidak memberlakukan persyaratan medis sebelum kepesertaan, seperti halnya model asuransi kesehatan pada perusahaan asuransi swasta. Sehingga, tujuannya semata untuk memulihkan kesehatan, mencegah kecacatan, dan membuat masyarakat selalu produktif karena sehat.
Saat ini, Pendaftaran peserta BPJS Kesehatan bisa dilakukan melalui kantor cabang, kantor layanan operasional Kabupaten/kota (KLOK). Selain itu, di Website BPJS Kesehatan www.bpjs-kesehatan.go.id dan kantor cabang tertentu Bank Mandiri/BRI/BNI/ BTN.
Masyarakat juga hendaknya menghindari pihak ketiga/calo dalam mendaftar sehingga dapat menghindari kasus penipuan pembuatan kartu BPJS palsu, seperti yang pernah terjadi di Kabupaten Cimahi dan Kabupaten Bandung pada ratusan masyarakat, pada Juli 2016 lalu. Kartu BPJS Kesehatan Palsu tidak akan teridentifikasi dalam master file BPJS Kesehatan, karena nama peserta dengan nomor kartu akan berbeda sehingga tidak dapat digunakan.
Terkait dengan adanya kartu JKN-KIS palsu ini, maka upaya yang dilakukan BPJS Kesehatan telah melakukan tindakan, yakni
1. Kantor-kantor cabang BPJS Kesehatan
Peningkatan peran unit penanganan pengaduan peserta (UP3) sebagai posko untuk melayani pengaduan masyarakat dan melakukan pengecekan data kartu dengan database,memberikan penyuluhan tentang tentang tatacara pendaftaran dan pembayaran iuran, dan mengomunikasikan dengan pihak pemda untuk masyarakat yang tidak mampu.
2. Peserta yang Memiliki kartu JKN-KIS Palsu
Untuk yang mampu membayar, diarahkan mendaftar sebagai pekerja bukan penerima upah (PBPU), yang tidak mampu, sesuai dengan komitmen pemerintah daerah maka akan diarahkan menjadi peserta Jamkesda atau diusulkan menjadi pserta penerima bantuan iuran (PBI),sesuai dengan kententuan
3. Masyarakat umum
Melakukan sosialisasi, informasi, dan edukasi melalui media massa dan banner/spanduk. Tujuannya untuk mengingatkan kembali peserta terkait kartu JKN Palsu, tidak melalui calo, dan prosedur pelayanan
Bayar Iuran Rutin, Manfaat Terjamin
Setelah menjadi peserta BPJS Kesehatan, setiap orang tentunya memiliki kewajiban membayar Gotong Royong Iuran Indonesia Sehat secara rutin setiap bulannya, sesuai dengan kelas layanan yang dipilihnya. Pembayaran iuran paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan. Tujuannya, tentu saja agar tetap dapat manfaat layanan kesehatan sebagai peserta dapat terjamin.
Sesuai dengan penjelasan di website www.bpjs-kesehatan.go.id, tidak ada denda keterlambatan pembayaran iuran terhitung mulai tanggal 1 Juli 2016. Denda hanya dikenakan apabila dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak status kepesertaan diaktifkan kembali, peserta yang bersangkutan memperoleh pelayanan kesehatan rawat inap.
Namun dengan iuran yang dibayar rutin, maka manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan yang bisa diperoleh seorang peserta, meliputi pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama, pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, dan pelayanan rawat inap.
Hingga Desember tahun 2015, jumlah kunjungan rawat jalan di fasilitas kesehatan tingkat pertama mencapai 100.617.378 kunjungan, jumlah kunjungan rawat jalan di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan 39.813.424 kunjungan, jumlah kasus rawat inap tingkat lanjutan sebanyak 6.311.146 kasus. Jumlah total biaya pelayanan kesehatan mencapai Rp. 57,08 Triliun. Sementara hingga 1 September 2016, jumlah total peserta JKN-KIS mencapai 168.512.237 jiwa.
Mulai 1 September 2016 bahkan peserta JKN-KIS kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) atau lebih dikenal sebagai peserta mandiri, dipermudah dapat melakukan pembayaran melalui sistem pembayaran 1 Virtual Account (VA) untuk keseluruhan anggota keluarga yang diberlakukan oleh BPJS Kesehatan.
Dengan Iuran Gotong Royong, Banyak yang Tertolong
Seandainya mbak Yani tidak menjadi peserta BPJS Kesehatan, tidak terbayangkan biaya yang harus disiapkan keluarganya.Dengan adanya BPJS Kesehatan, keluarga Mbak Yani tidak perlu sangat habis-habisan untuk mengeluarkan biaya hingga puluhan atau ratusan juta rupiah. Untuk mendapatkan seluruh pengobatan, perawatan, dan tindakan, mbak Yani hanya perlu rutin membayar iuran BPJS yang dimilikinya.
Saat itu, untuk rawat jalan dan rawat inap kelas I karena penyakit kanker, semula mbak Yani hanya membayar iuran peserta kelas sebesar Rp. 59.500 per bulan. Sejak 1 April 2016, sesuai dengan Perpres Nomor 19 tahun 2016, iuran peserta kelas 1 semula hanya Rp 59.500 disesuaikan menjadi Rp.80.000, untuk kelas 2 yang semula Rp.42.500 disesuaikan menjadi Rp.51.000. Sementara untuk kelas 3, presiden telah menetapkan iuran peserta perorangan kelas III tidak berubah, tetap Rp25.500 seperti ketentuan awal sebelum ada.
Meskipun ada kenaikan biaya, tetap saja dengan iuran biaya peserta perorangan yang dikeluarkannya, keluarga mbak Yani mendapatkan pelayanan yang jauh lebih besar dan berkali lipat biayanya.
Suatu hal yang tentu saja sudah di luar batas kesanggupan keluarga untuk membiayai pengobatan. Darimana semua itu? Ternyata, semua itu dimungkinkan karena adanya prinsip gotong royong dan kekeluargaan.
Gotong Royong itu terwujud lantaran dua hal, yakni
1. Adanya bentuk Subsidi silang untuk pembiayaan pelayanan kesehatan peserta JKN-KIS yang sakit
2. Peran dan partisipasi aktif seluruh pihak atau multistakeholders dalam mendukung program JKN-KIS.
Multistakeholders ini terdiri atas masyarakat, rumah sakit, tenaga medis, pemerintah pusat, pemerintah daerah, LSM, badan usaha, pengelola klinik swasta, dsb
Bayu Wahyudi, Direktur Hukum, Komunikasi, dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan dalam naskah presentasi Nangkring Kompasiana dengan BPJS Kesehatan di Balikpapan 9 September lalu menyebutkan, dengan gotong royong maka banyak peserta yang sakit yang dapat tertolong.
Sebab, iuran dari peserta yang sehat digunakan untuk membiayai peserta yang sakit. Disebutkan Bayu, untuk 1 pasien DBD dibiayai oleh 80 peserta sehat, 1 pasien Sectio Caesaria dibiayai 135 peserta sehat, 1 pasien kanker oleh 1.253 peserta sehat.
Melihat kenyataan ini, terpampang jelas begitu berharganya nilai dari sebuah iuran peserta BPJS yang sehat untuk membantu peserta yang sakit. Memang, seorang peserta sehat tidak bisa berharap uang iuran BPJS yang dibayarkannya per bulan, akan terkumpul serupa tabungan bila tidak sakit.
Namun, tidak pernah ada biaya biaya yang sia-sia dikeluarkan oleh peserta yang sehat karena sifatnya adalah menolong yang sakit. Biaya yang terkumpul secara gotong royong seluruh peserta sehat diberikan kepada para peserta yang sakit. Bukankah suatu perbuatan yang mulia?
Untuk peserta sehat pun, di sisi lain, sebenarnya pun sudah membeli rasa aman perlindungan jika suatu waktu nanti menderita suatu penyakit. Gilirannya untuk menerima bantuan dari iuran gotong royong BPJS Kesehatan-KIS. Tidak ada yang pernah tahu.
Sesuai dengan prinsip bilangan, semakin banyak yang turut serta maka semakin banyak juga yang dapat terbantu. Semakin banyak yang dapat tertolong. Semakin banyak orang yang tidak ragu-ragu untuk memulai sebuah rangkaian pengobatan, sehingga suatu penyakit dapat terdeteksi lebih dini.
Iuran yang dibayarkan oleh seorang peserta secara rutin membuat jangkauan pelayanan kesehatan semakin luas dan pemanfaatnya pun bertambah banyak. Membuat masyarakat yang sehat memang dibutuhkann jutaan cinta. Ya, cinta dari peserta yang sehat kepada peserta yang sakit. Dengan Gotong Royong Iuran Indonesia Sehat, maka masyarakat Indonesia pastinya juga lebih sehat.
Sumber : -materi nangkring di Balikpapan bersama BPJS Kesehatan
Tulisan ini di-share melalui akun Facebook pribadi dan akun Twitter pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H