Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(My Diary) Lelaki Satu-satunya Rien

13 April 2016   23:55 Diperbarui: 14 April 2016   00:56 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="banner my diary fiksiana community"]

[/caption]

Dear Diary,

MELIHAT  bocah kecil itu berlari dan tertawa menghampiri, ada bahagia yang seakan mengalir di hati. Raka sudah besar sekarang. Sehat dan gesit. Keceriaan yang selalu tergambar di wajahnya, membuat siapa pun yang memandangnya ikut senang.

“Tante, aku mau cari keong dulu di sebelah sana,ya,” ujarnya sambil memperlihatkan sebuah keong kecil di tangannya. 

Pagi itu, aku, Raka, dan ibunya Rien menyempatkan diri untuk berolahraga sekaligus refreshing ke Taman Cattleya, yang terletak di Kemanggisan, Slipi. Taman yang ditata apik ini, dapat terlihat jelas sebelum perempatan Tomang, tepatnya pada lajur sebelah kiri kendaraan yang hendak ke arah Tangerang.

Ah, senangnya melihat Raka sekarang. Sebelas Maret lalu, Raka berusia lima tahun. Sudah lebih cerdas dan lebih mampu bersosialisasi dengan baik. Tidak terasa, beberapa bulan lagi Raka menamatkan TK kecilnya. Lalu memasuki TK Besar. Semua cepat berlalu.

Diary, saat melihat Raka, ingatanku pun terbawa pada lima tahun yang lalu, ketika  bocah kecil itu lahir dalam keadaan serba pilu. Radit, ayahnya diketahui mengidap kanker paru-paru tepat menjelang kelahirannya.

Penyakit ayahnya itu tidak kunjung membaik hingga bocah itu menyapa dunia. Rien dan Radit, keduanya adalah kawanku yang akhirnya memutuskan menikah.

Aku masih sempat bertemu dengan Radit, saat Raka lahir di RSIA Harapan Kita. Hanya saja, saat itu Radit sudah tidak berani menggendong Raka, anak lelaki pertamanya. Radit hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih, ketika aku memberikan ucapan selamat atas kelahiran anak yang selalu ditunggu-tunggunya.  Radit nyaris selalu menggunakan masker untuk menutupi hidung dan wajahnya.

Diary, melihat Rien, kawanku itu tidak menutupi merasa bahagia atas kelahiran Raka. Sempurnalah dia menjadi seorang perempuan karena berhasil melahirkan seorang anak, meski dengan operasi caesar. Aku menjenguk ibu dan anak ini tak lama setelah Raka lahir. Aku sempat menggendong bayi itu sejenak.

Diary, sayangnya kondisi Radit, ayah Raka semakin hari semakin parah. Lelaki itu kemudian harus masuk rumah sakit  untuk mengobati penyakitnya. Beberapa pekan setelah itu, aku terkejut saat Rien menelepon dalam keadaan terisak.

Rien harus dirawat inap di RSIA Harapan Kita lantaran luka bekas operasi caesar di perutnya mengalami infeksi hebat. Lukanya berair. Rien terlalu kelelahan merawat Radit suaminya, yang terbaring di rumah sakit. Padahal, kondisi Rien sendiri belum pulih seutuhnya setelah melahirkan.

“Jangan pergi. Temani aku disini,” pinta Rien, saat jam jenguk telah habis. Melihat wajahnya yang sendu aku pun tidak tega. Aku tahu, Diary, meski tak banyak kata dan cerita yang mengalir, ada perasaan lega terlihat di wajah Rien saat aku memutuskan untuk menemaninya.

Rembesan air tampak terlihat jelas di perban yang tertempel di bekas luka operasi caesarnya, saat Rien menunjukkannya kepadaku. Rien sangat membutuhkan teman untuk mencurahkan isi hati. Keluarganya sudah kembali ke daerah Sumatera, setelah menjenguk Raka lahir. Rien malam itu hanya ditemani seorang keluarga dari pihak mertua.

Aku menatap Rien. Diary, aku bukanlah orang hebat, tapi aku ingin dapat memberikan semangat dan berbagi rasa kepada sahabatku satu ini. Jika bukan cobaan, apalah namanya, sepasang suami istri harus dirawat bersamaan di rumah sakit yang berbeda. Anak pertama yang baru lahir, harus ikut merasakan tidak segera berada dalam timangan kedua orang tuanya.

Untunglah lima hari kemudian, Rien sudah dapat pulang. Hari-harinya cukup terbantu karena kemudian satu persatu saudara kandungnya datang. Begitupun dengan orang tuanya.  Namun, kondisi Radit, suaminya semakin parah saja.

Hingga akhirnya, tepat tiga bulan setelah kelahiran Raka anak pertamanya, Radit meninggal dunia. Aku sangat terkejut mendapatkan informasi yang dikirim melalui SMS. Segera, aku pun ke rumah duka di kawasan Kebun Jeruk.

Diary, kawanku Rien ternyata kuat. Walaupun sedih terlihat di wajahnya dan sesekali menatap bayi Raka, yang ada di pelukan adiknya, perempuan ini masih bisa tersenyum.

Ketika salah seorang perempuan pelayat datang mengucapkan belasungkawa dengan penuh tangis dan isak, Rien malah menepuk perlahan pundak pelayat yang ternyata juga baru saja kehilangan suaminya.

Ketegaran Rien juga terlihat saat sudah masuk kembali. Aku sempat berpesan kepada Bara, teman kami yang sekantor dengannya, agar Rien dapat dihibur pada hari pertama masuk kantor, setelah kepergian suaminya.

“Aku ketemu Rien. Tapi, sepertinya dia baik-baik saja. Diajak bercanda juga malah ketawa-tawa dan senyum-senyum,” kata Bara.

Diary, kuatnya temanku ini. Peristiwa-peristiwa yang terjadi itu semakin mengeratkan pertemanan kami. Seringkali,  usai bersepeda dari kegiatan Car Free Day, aku singgah di rumahnya. Melepas lelah sekaligus menjenguk Rien dan Raka.

Kami banyak bertukar cerita. Rasa menyesal terkadang masih muncul dari cerita-ceritanya karena terlambat mengajak Radit, suaminya berobat ke dokter. Radit yang memang seorang perokok sudah cukup lama batuk-batuk.

Namun, selalu saja Radit menolak untuk berobat dan menganggap sebagai batuk biasa. Apalagi, Radit adalah pegawai kantor, yang sering berdinas malam hingga pagi hari. Hingga  akhirnya suatu hari, Radit batuk mengeluarkan darah.

Kepanikan pun langsung tercipta. Hanya saja, segalanya sudah terlambat. Penyakit Kanker Paru itu cepat sekali merusak tubuh Radit tanpa ampun. Hanya beberapa bulan, setelah penyakit itu terdeteksi dalam stadium parah, Radit meninggal dunia.

Diary, kala bercerita, aku melihat air mata Rien terlihat menggenang di sudut. Tapi kamu tahu?  itu tidak pernah lama. Hanya sebentar. Rien memang pandai sekali menutupi perasaan sedinya, terutama di depan orang lain. Itu sebabnya, kawan-kawan kantornya tidak ada yang tahu Rien sebenarnya bersedih.

Tapi aku tahu, Diary.Aku tahu kepedihannya karena saya mengenal Rien dengan baik selama belasan tahun. Termasuk saat ibunya menyusul ke pangkuan Illahi, dua bulan setelah meninggalnya Radit, suaminya.

“Win, ibuku ikut meninggal,” ucapnya dengan nada tersekat. Diary, aku ikut merasa sesak. Tuhan, dalam jangka waktu singkat kau ambil orang-orang terdekat dan tercinta kawan baikku ini.

Setelah peristiwa itu, sesekali aku juga sering menginap di rumah Rien karena mereka hanya tinggal berdua. Perempuan luar biasa ini harus tetap bekerja untuk mencari nafkah. Jika pengasuh anak sedang tidak ada, Raka dititipkan di keluarga mertua.

Saat akhir pekan datang, Rien dan Raka sering datang ke rumahku. Biasanya, kami lantas pergi ke taman Cattleya, taman yang menjadi langganan kami. Taman yang menjadi sarana hiburan karena nuansa alam hijaunya. Ada suara burung. Danau, dengan sejumlah orang tampak terlihat memancing menjadi salah satu tujuan kami.

Wajah Raka cerah saat mengumpulkan keong-keong, yang terkadang banyak ditemukan di pinggir danau. Tertawa-tawa berlarian kesana kemari, di antara tanaman-tanaman hijau yang ada. Kebiasaan yang sama tahun demi tahun.

Diary, saat ini Raka sudah besar. Sudah berusia lima tahun. Sudah bersekolah di TK A, TK Kecil.  Bocah yang ayahnya telah meninggal ini, semakin pintar dan ceriwis. Rasa senang juga muncul di hatiku.

Semuanya seakan baik-baik saja. Hingga di taman itu, dengan nada tercekat, Rien mengatakan sesuatu. Sudut matanya kembali tergenang air. Suatu hal yang sudah lama tidak kulihat langsung.

 “Aku bahagia dengan Raka sekarang. Biarlah begini saja. Walaupun keluargaku hanya keluarga kecil. Cuma berdua, aku sudah bersyukur dan merasa cukup,” ucapnya.

Diary, ternyata teman-teman kantor Rien sering menjodoh-jodohkannya dengan seseorang. Banyak orang mengganggap tidak baik jika perempuan terlalu lama menjanda. APalagi masih muda dan cantik.

Hatiku terhanyut lara. Orang lain memang selalu mengaku dapat memberikan saran terbaik bagi seseorang. Padahal kenyataannya tidaklah selalu benar. “Aku tidak ingin menikah lagi. Biarlah Raka menjadi laki-laki satu-satunya untukku,” kata Rien, dengan air mata menetes.

Diary, Aku hanya bisa terdiam. Aku hanya bisa menepuk lembut pundaknya.

 

Jakarta, 13 April 2016

Untuk teman baikku yang luar biasa

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun