Diary, kuatnya temanku ini. Peristiwa-peristiwa yang terjadi itu semakin mengeratkan pertemanan kami. Seringkali, usai bersepeda dari kegiatan Car Free Day, aku singgah di rumahnya. Melepas lelah sekaligus menjenguk Rien dan Raka.
Kami banyak bertukar cerita. Rasa menyesal terkadang masih muncul dari cerita-ceritanya karena terlambat mengajak Radit, suaminya berobat ke dokter. Radit yang memang seorang perokok sudah cukup lama batuk-batuk.
Namun, selalu saja Radit menolak untuk berobat dan menganggap sebagai batuk biasa. Apalagi, Radit adalah pegawai kantor, yang sering berdinas malam hingga pagi hari. Hingga akhirnya suatu hari, Radit batuk mengeluarkan darah.
Kepanikan pun langsung tercipta. Hanya saja, segalanya sudah terlambat. Penyakit Kanker Paru itu cepat sekali merusak tubuh Radit tanpa ampun. Hanya beberapa bulan, setelah penyakit itu terdeteksi dalam stadium parah, Radit meninggal dunia.
Diary, kala bercerita, aku melihat air mata Rien terlihat menggenang di sudut. Tapi kamu tahu? itu tidak pernah lama. Hanya sebentar. Rien memang pandai sekali menutupi perasaan sedinya, terutama di depan orang lain. Itu sebabnya, kawan-kawan kantornya tidak ada yang tahu Rien sebenarnya bersedih.
Tapi aku tahu, Diary.Aku tahu kepedihannya karena saya mengenal Rien dengan baik selama belasan tahun. Termasuk saat ibunya menyusul ke pangkuan Illahi, dua bulan setelah meninggalnya Radit, suaminya.
“Win, ibuku ikut meninggal,” ucapnya dengan nada tersekat. Diary, aku ikut merasa sesak. Tuhan, dalam jangka waktu singkat kau ambil orang-orang terdekat dan tercinta kawan baikku ini.
Setelah peristiwa itu, sesekali aku juga sering menginap di rumah Rien karena mereka hanya tinggal berdua. Perempuan luar biasa ini harus tetap bekerja untuk mencari nafkah. Jika pengasuh anak sedang tidak ada, Raka dititipkan di keluarga mertua.
Saat akhir pekan datang, Rien dan Raka sering datang ke rumahku. Biasanya, kami lantas pergi ke taman Cattleya, taman yang menjadi langganan kami. Taman yang menjadi sarana hiburan karena nuansa alam hijaunya. Ada suara burung. Danau, dengan sejumlah orang tampak terlihat memancing menjadi salah satu tujuan kami.
Wajah Raka cerah saat mengumpulkan keong-keong, yang terkadang banyak ditemukan di pinggir danau. Tertawa-tawa berlarian kesana kemari, di antara tanaman-tanaman hijau yang ada. Kebiasaan yang sama tahun demi tahun.
Diary, saat ini Raka sudah besar. Sudah berusia lima tahun. Sudah bersekolah di TK A, TK Kecil. Bocah yang ayahnya telah meninggal ini, semakin pintar dan ceriwis. Rasa senang juga muncul di hatiku.