Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[HARI IBU] Ibu, Akan Kubawa Kau Ke Mekah...

23 Desember 2015   00:09 Diperbarui: 23 Desember 2015   00:57 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

#HariibuRTC

MENATAP wajah ibu saat terlelap, aku seakan tersadar. Ibu semakin senja. Usianya bertambah satu demi satu seiring dengan perjalanan waktu. Saat berjalan, ibu sudah tidak sekokoh dulu meski semangat ibu tetaplah tinggi. Ibu tidak pernah mau mengakui sudah tidak segesit atau secekatan dulu.

“Ibu masih bisa mengerjakan semuanya sendiri. Sudah, jangan mengatur-atur ibu,” tampik ibu atas niat baikku supaya ibu tidak mencuci dan menyeterika baju.

Sejak dulu, ibu memang selalu mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga dengan tangannya sendiri walaupun bukan total ibu rumah tangga 100 %. Ibu adalah perempuan yang bekerja di sebuah departemen pemerintahan dan selalu pulang sore. Namun buat ibu, saat bekerja adalah di kantor. Saat tiba di rumah, ibu adalah milik keluarga. Milik anak-anak. Melayani keluarga dengan sepenuh hati.

“Ibu harus bisa mengasuh sendiri anak-anak ibu,” tukas ibu.

Begitulah ibu. Sejak dulu setiap hari, selalu bangun pagi-pagi sekali untuk masuk dapur dan menyiapkan sarapan pagi. Ibu mengusahakan semua anggota keluarga sudah sarapan sebelum meninggalkan rumah atau beraktivitas.

“Semua harus makan pagi. Ibu nggak suka dengan orang yang baru sampai di sekolah atau sampai di kantor langsung cari-cari makanan. Kalau sudah makan dari rumah, pasti sudah tenang melakukan sesuatu,” cerewet ibu panjang lebar jika anak-anaknya saat itu mulai terlihat rewel atau bosan untuk sarapan dengan menu yang terkadang itu-itu saja.

Keberadaan pengasuh rumah tangga di rumah hanya ada saat kami anak-anaknya masih duduk di sekolah dasar. Setelah itu, tidak pernah ada lagi lagi. Kata ibu, seiring dengan usia anak-anaknya yang semakin bertambah, sudah saatnya belajar bekerjasama untuk mengerjakan pekerjaan tumah tangga. Belajar untuk menjaga kebersihan rumah. Belajar bertanggung jawab dan belajar mandiri.

Tidak urung, keputusan ibu tanpa pekerja rumah tangga seringkali menimbulkan keributan-keributan pada anak-anaknya untuk hal-hal sepele, seperti siapa yang menyapu, siapa yang mencuci piring, siapa yang beres-beres? dan hal lainnya yang sebetulnya tidak perlu. Meski sudah ada pembagian tugas, tetap saja ada yang melarikan diri. “Aku nggak sempat. Kamu aja yang ngerjain.” tunjuk kakakku pada piring yang menumpuk belum tercuci.

Ibu adalah ibu. Nyaris tak bisa terima alasan apa pun juga terhadap sesuatu. Saat kami mengerjakan tugas di pagi hari, mata ibu membelalak. “Semua tugas itu harus diselesaikan malam hari. Dipersiapkan dengan baik. Jangan pagi-pagi gedebak-gedebuk. Jangan ditunda-tunda nanti ada yang tertinggal,” ulang ibu selalu.

Sebagai bentuk dukungan, ibu terkadang menyiapkan cemilan malam ataupun membuatkan teh hangat saat anaknya sedang sibuk mengerjakan dan menyelesaikan sebuah suatu tugas di malam hari.

Begitulah ibu. Saat aku merasa enggan atau malas berangkat ke suatu tempat yang seharusnya kudatangi terkait dengan pekerjaan, ibu akan memperhatikanku dengan seksama. Termasuk kebiasaanku yang suka memolorkan waktu atau sedikit berjam karet.

“Kalau pergi ke suatu tempat itu, paling lambat setengah jam sudah sampai disana. Jadi lebih siap. Nggak boleh terburu-buru,” ucapnya yang sering kubantah jika Indonesia yang berlaku adalah jam karet. Jarang sekali suatu acara berlangsung tepat waktu kecuali di acara-acar kemiliteran, kepolisian, atau kepresidenan.

Kakakku biasanya menertawakanku saat mengobrol tentang ibu. “Ibu itu yang memang begitu. Maunya sempurna. Sok perfect,” kata kakak, yang kuakui kebenarannya dalam hati dan terkadang kuanggap keinginan-keinginan ibu justru menyusahkan. Berbantahan dan berargumen pun tidak ada guna karena pasti tetap ibu yang menang. Malahan aku yang bisa menjadi anak durhaka. Ya sudahlah,...

 

***

HINGGA malam itu. Saat pulang ke rumah setelah seharian bekerja, aku melihat ibu terdiam menatap lama kalender baru yang sudah terpajang di dinding. Sebuah kalender tahun baru yang hampir datang.

“Nggak terasa, sudah lebih dari sepuluh tahun ibu pensiun,” gumam ibu saat kudekati.

“Saat ini, kalau ada telepon atau kabar untuk ibu pasti isinya cuma kawan menikahkan anaknya, kawan sakit, ataupun kawan meninggal. Nggak ada yang lain,” ujarnya pelan.

 Aku menatap ibu. “Lalu ibu ingin apa?” tanyaku.

Ibu hanya terdiam. Tidak menjawab. Namun, ibu meminta diputarkan film Emak Ingin Naik Haji. Aku pun sibuk mencari-cari download film ini melalui internet. Ibu menontonnya. “Teman-teman ibu, rata-rata sudah naik haji. Kenapa ibu belum bisa,ya?” tanya ibu seakan menyambar telingaku.

Ya, aku abai atas hal ini. Gaji pensiun ibu masih tergadai untuk suatu hal beberapa tahun lalu. Sejak ibu mengucapkan keinginannya untuk naik haji, rasa resah mulai menjalariku. Terkadang, aku memandangi gantungan kunci kaca yang di dalamnya berbentuk ka’bah.

Sejak tahun lalu, ibu selalu mengikuti perkembangan berita haji. Saat salah seorang temannya mengadakan syukuran naik haji, ibu berusaha menyempatkan diri untuk datang. “Mumpung ibu masih sehat. Ibu masih bisa ketemu teman-teman yang sudah naik naik haji. Siapa tahu ibu ketularan,” ucapnya.

Doa-doa ibu semakin khusyu. Ibu selalu berupaya shalat malam. Di sisi lain, semakin sering ibu mengucapkan keinginannya naik haji, semakin teriris rasa hati. Aku ingin ibu bisa melaksanakannya sesegera mungkin dan selagi sehat. Namun, saat ini sungguh aku belum bisa memenuhinya.

Terkadang, perasaan bersalah sekaligus perasaan kesal memenuhi dadaku. Terutama saat ibu selalu berulang mengatakan jika teman-temannya sudah hampir semua naik haji.

Pernah, seorang teman menawarkan sistem cicilan haji ala sebuah MLM, namun aku ingin memberikan yang terbaik kepada ibu dengan layanan ibadah haji dari biro haji yang juga terbaik.

Hari ini, tanggal 22 Desember. Hari yang diperingati sebagai hari ibu. Aku menatap ibu yang tengah terlelap malam ini. Ibu memang tidak berubah kecuali fisiknya yang menua. Kemauan ibu tetaplah kuat. Ibu adalah ibu. Kecerewetan ibu selalu ada dan mewarnai setiap hari meski terkadang aku merasa ada yang sudah sedikit berbeda. Terkadang,aku merasa ibu seakan merajuk seperti anak kecil.

Ah ibu, seandainya saja, pada hari ibu ini aku bisa mempersembahkan sesuatu yang terbaik untukmu selain doa dan ucapan terima kasih. Aku hanya bisa berdoa tahun depan suatu saat akan kupeluk ibu, dan mengucapkan,” Ibu, kita pergi ke Mekah.Mekah untuk ibu.”

 

Jakarta, 22 Desember 2015

 

#untukibu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun