Salah satu upaya untuk mengelola sampah yakni melalui 3R yakni reduce, reuse, dan recycle yang dilakukan dengan pemilahan organic, non-organik juga bahan berbahaya dan beracun (B3). Untuk menjalankan 3R, masyarakat harus memiliki kesadaran untuk memilah sampah dari sumbernya yakni rumah.
Hingga kini TPST Bantar Gebang belum menggunakan teknologi yang modern, tetapi masih bersifat konvensional yakni berupa sanitary landfill yang hanya merupakan penimbunan sampah tanpa adanya pengolahan. Karena tidak adanya pengolahan sama sekali, bisa memungkinkan munculnya gas metana.Â
Inilah yang kukhawatirkan, Â jika tidak salah ingat, sekitar 2005 di TPA Leuwigajah mengalami longsoran akibat derasnya hujan. Gas metana yang dihasilkan dari tumpukan sampah yang menjadi memicu terjadinya longsor. Dan siang itu aku membayangkan hal serupa bisa saja terjadi di UPST Bantar Gebang.
Jika sampah-sampah ini tidak dipisahkan misalnya sampah organik tentu saja akan menimbulkan aktivitas bakteri, yang akan menghasilkan gas metana. Aku pernah membaca Jurnal Teknologi Industri Pertanian IPB University Volume 18 (1) yang menyebutkan konstanta produksi gas  di tempat pembuangan akhir. Di UPST Bantar Gebang, tiap kilogram sampah yang terdekomposisi akan memproduksi rata-rata gas metana 235 liter. Sekarang produksi metana sampah di Bantar Gebang mencapai 1,3 juta ton setahun.
Perhitungannya seperti ini, setiap satu ton sampah yang terdekomposisi akan menghasilkan 0,27 ton gas metana. Nah di lain sisi, setiap mengkonversi 1 ton sampah menjadi kompos akan menghasilkan 0,53 ton pupuk sehingga dengan mengompos 7.700 ton sampah di Bantar Gebang seharusnya sehari bisa mencegah 2.078 ton metana menguap ke atmosfer.
Dan aku pernah mencoba mengunjungi salah satu zona, dan berdiri di atas tumpukan sampah. Yang aku rasakan munculnya hawa panas yang disebabkan oleh gas metana dari sampah organik. Selama berada di UPST Bantar Gebang hidungku harus terpaksa beradaptasi dengan bau sampah. Terlintas di kepalaku bagaimana dengan petugas sampah yang setiap hari menghadapi bau sampah yang mungkin saja aroma lebih tajam mengiris kulit hidung. Para petugas yang setiap hari menghirup gas metana tentu saja akan berdampak kepada kesehatannya walaupun telah dikover BPJS Kesehatan
.Berdasarkan pengamatanku, kegiatan di TPST Bantar Gebang dikelompokkan menjadi kegiatan sanitary landfill, pengomposan, pengoperasian IPAS (Instalasi Pengolahan Air Sampah), pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dan Power House serta pemakaian fasilitas penunjang operasional. Dalam pengoperasian PLTSa, setiap 100 ton sampah mampu menghasilkan daya listrik sebesar 700 kw yang digunakan untuk keperluan internal saja. Kemudian 300 kw digunakan untuk menerangi 60 kilometer jalan tol.
Di area kompos, kegiatan yang dilaksanakan yakni pembuatan kompos juga pemisahan plastik yang akan digunakan sebagai bahan bakar baik untuk PLTSa di lingkup UPST Bantar Gebang maupun untuk perusahaan semen. Proses pengomposan di TPST Bantar Gebang menghasilkan produk kompos 3 ton per hari. Proses pengomposan dilakukan dengan metode aerobic (open windows), yaitu proses pemilahan, pencacahan, pembalikan, pengayakan, penyimpanan sementara dan pengemasan (packaging). Sistem tersebut dikembangkan dengan cara menyuntikkan mikroorganisme (bioactivator). Dari proses pengomposan tersebut dihasilkan kompos serbuk.
Kompos yang diproduksi diolah dari sampah organik yang berasal dari beberapa pasar tradisional di Provinsi DKI Jakarta. Selain digunakan untuk urban farming, kompos dihibahkan ke komunitas, institusi pendidikan, kantor-kantor swasta dan kantor pemerintahan yang berminat. Aku juga dapat loh dan gratis.