Mohon tunggu...
Irma Sabriany
Irma Sabriany Mohon Tunggu... Freelancer - Berani, mengagumkan, kekanak-kanakan, suka jalan-jalan, mandiri punya gaya ngomong yang sopan, lucu, cuek

Berani, mengagumkan, kekanak-kanakan, suka jalan-jalan, mandiri punya gaya ngomong yang sopan, lucu, cuek

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Buton: Dari Aspal, Air Terjun, Parende Hingga Naga Bau-Bau

20 Juli 2021   00:13 Diperbarui: 20 Juli 2021   08:35 1310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ikan Parende di RM Wangi-Wangi (dok. pribadi)

Benteng keraton ini terbuat dari kapur. Kata beberapa orang, susunan batunya dikuatkan menggunakan putih telur sebagai perekatnya. Tapi, aku pernah baca dan dengar cerita-cerita beberapa orang, justru memberikan informasi berbeda. Menurut versi lain itu yakni batuan kapur yang menyusun benteng tersebut merekat secara alami karena terkena hujan dan panas selama bertahun-tahun. Sejujurnya, aku masih sulit untuk mempercayai keduanya. Karena, hingga aku menulis cerita perjalanan ini belum ada penelitian ilmiah yang dapat membenarkan salah satu di antaranya. Setidaknya aku belum sempat menemukan publikasi ilmiah tentang hal tersebut. 

Aku tak ingin melihat sekilas saja, lalu kuputuskan mengelilinginya. Dari hasil pemantauan dari jarak dekat, terlihat benteng ini bisa dimasuki dari 12 pintu gerbang yang disebut lawa.

Sebagai perbandingan di Bahasa Makassar terdapat satu kata serupa, yang maknanya bisa berarti pembatas, penghalang, pelindung, atau penyekat. Orang atau benda yang digunakan untuk melindungi atau menyekat di sebut pallawa. Saya tak tahu persis, apakah itu merupakan bahasa serapan dari Buton atau sebaliknya. Oh ya, ada lagi istilah serupa dalam Bahasa Bugis yakni pallawa lipu, pelindung dari segala masalah. Frase tersebut dipakai sebagai motto Pataka Polda Sulsel.

Benteng ini juga memiliki senjata pertahanan kaliber besar berupa adanya 16 meriam yang disebut baluara. Jika dilihat dari letaknya yakni di puncak bukit maka sudah pasti berfungsi sebagai meriam-meriam tersebut sebagai pusat pertahanan. Penempatan meriam seperti ini seperti halnya benteng yang ada di Tidore yakni Benteng Tahula dan Benteng Torre. Bila saja pada hari tertentu, meriam-meriam itu diledakkan menuju target yang diskenariokan sebagai musuh, tentu rasa perlindungan pada benteng ini akan terasa semakin kuat.

Memasuki benteng Kesultanan Buton, selanjutnya akan ditemui Batu Wolio, Batu Popaua, masjid, tiang bendera, makan Sultan Murhum, Istana Badia, dan meriam kuno. Dari papan informasi, terbaca bahwa batu wolio yang berwarna gelap itu berukuran tinggi sekitar 1.40 meter dengan lingkar keliling antara 0.5 hingga 1 meter. Menurut tradisi Buton, menyebutkan bahwa di sinilah, Wakaaka, sosok perempuan yang pertama kali ditemukan bersamaan dengan kehadiran kelompok Mia Patamiana. Wakaaka inilah yang kemudian dinobatkan sebagai raja/ratu pertama.  Penobatan itu dilakukan setelah mendapat restu dari menteri Pataliombona yaitu Baluwu, Peropa, Barangkatopa, dan Gundugundu.

Batu wolio biasa juga disebut batu yi gandangi, karena tempat tersebut ditabukan gendang menjelang pelantikan raja, ratu, atau sultan. Di samping sebagai tempat pengambilan tirta untuk dijadikan air mandi setiap calon raja atau sultan, maka batu wolio hingga saat ini masih tetap disakralkan oleh masyarakat Buton. Batu itu dianggap sebagai simbol kekuatan dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Sedemikian melegendanya, bahkan para pengunjung atau pendatang dari luar daerah dianggap belum tiba di negeri Buton, sebelum memegang batu wolio ini.

Akh, mitos batu itu teramat sulit dipercaya.  Aku sendiri sampai saat ini belum memegang batu ini. Bagaimana caranya bisa memegang batu ini. Letak batu ini dipagari, sepertinya untuk mencegah vandalisme. Meski ada kemungkinan dianggap belum tiba di Buton, gegara batu yang dipagari itu, tapi tentu saya tidak sendiri. Selama pagar itu masih ada, mitos itu terkunci bersama legendanya.

Nah, masih berurusan dengan batu yang disakralkan, di sini terdapat popaua. Benda itu merupakan batu alam yang mempunyai lubang dan dikeramatkan karena dijadikan sebagai tempat pengambilan sumpah para raja atau Sultan Buton. Disebut juga batu popaua, karena di atas batu ini raja atau sultan akan memasukkan kaki kiri dan kaki kanan secara bergantian. Lalu diputarkan payung kebesaran kerajaan di atas kepala raja atau sultan ketika hendak diucapkan sumpah jabatan oleh seorang dari dewan Siolimbona atau anggota legislatif dewan adat.

Di dalam area kompleks utama Benteng Keraton Buton, terdapat Mesjid Keraton Buton. Alhamdulillah, aku pernah masuk, kemudian melaksanakan salat di masjid ini. Menurut kabar warga setempat, masjid ini dulu menjadi pusat pertahanan orang Buton. Pusat kekuatan orang Buton pada rumah ibadah tersebut. Saya tak tahu pasti, apakah ada yang pernah mengusik jamaah dan imam salat, langsung hingga ke dalam masjid, sebagaimana yang kini marak terjadi. Entah hukuman apa yang akan diterima pengganggu kemakmuran masjid, bila ada yang melakukannya di Mesjid Keraton Buton.

Mesjid Keraton Buton (dok. pribadi)
Mesjid Keraton Buton (dok. pribadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun