Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Insinyur - Chemical Engineer

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengkritik Aktivisme Mahasiswa

9 November 2020   11:01 Diperbarui: 9 November 2020   11:09 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
BEM SI Demo Tolak Omnibus Law di Depan DPR (Foto: Bil Wahid/detik.com)

Dengan Penetapan tingkat 1 Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) di Badan Legislatif saat pandemi di tengah gejolak penolakan dari masyarakat dan mahasiswa yang dapat menyengsarakan rakyat Indonesia. Dimana hal tersebut diakibatkan oleh ketidakbecusan serta ketidakberpihakan pemerintah dan wakil rakyat Indonesia terhadap nasib seluruh rakyat Indonesia yang dibuktikan dengan berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat.

Pernyataan diatas adalah penggalan dari mosi tidak percaya aliansi BEM  SI (Badan Eksekutif Mahasiswa se- Indonesia) yang disampaikan oleh koordinator pusat BEM SI 2020, Remy Hastian, beberapa waktu yang lalu. Mosi tidak percaya dari sekelompok aktivis mahasiswa tersebut merupakan bentuk sikap menolak atas pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja.

Kalau tidak salah, ini kedua kalinya para aktivis mahasiswa menyatakan mosi tidak percaya atas kepemimpinan Jokowi di periode keduanya sebagai Presiden.

Tidak berlebihan bila kita mengapresiasi sikap kritis para aktivis mahasiswa - yang memang sudah seharusnya. Harapan berjalannya fungsi check and balance terhadap penguasa, salah satunya ada pada kelompok aktivis mahasiswa. 

Wakil rakyat yang terhormat dan politisi dari oposisi kurang menjalankan fungsinya. Malah yang tampak jelas, oposan justru melakukan persengkongkolan atau memainkan politik dua kaki.

Namun, demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa tersebut mengundang reaksi berbagai kalangan, termasuk Megawati Soekarnoputri.  Politisi senior sekaligus ketua umum PDI-Perjuangan tersebut mempertanyakan kontribusi anak milenial untuk bangsa dan negara, selain berdemonstrasi.

Terlepas dari pro dan kontra, kritik dari mantan Presiden Indonesia tersebut bisa menjadi momentum untuk merefleksikan diri, khususnya bagi aktivis mahasiswa.

Bagi mahasiswa yang aktif berorganisasi, "gelar" aktivis mahasiswa bisa menjadi nilai lebih. Menyandang "gelar" aktivis mahasiswa adalah kebanggaan sekaligus beban.

Bangga karena tidak semua mahasiswa mau atau punya "gelar" aktivis mahasiswa dan menjadi beban karena banyak masyarakat menaruh ekspektasi yang tinggi kepada aktivis mahasiswa yang dianggap sebagai gambaran ideal pemimpin masa depan bangsa. Selain sebagai kaum intelektual, aktivis mahasiswa juga sangat lekat dengan idealisme.

Ditengah kondisi semakin banyaknya anak muda sekarang yang enggan memiliki idealisme, aktivis mahasiswa bisa menjadi teladan bagaimana seharusnya menjadi anak muda. Idealnya, aktivis mahasiswa tidak hanya sebatas memiliki idealisme tetapi juga berusaha mewujudkannya.

Inilah tantangannya. Mewujudkan idealisme tidak segampang memiliki idealisme, apalagi bila disatu sisi, juga berhasrat mengejar kemapanan. Karena faktanya, idealisme sangat sulit sejalan dengan kemapanan. 

Sehingga, tidak mengherankan jika banyak mantan aktivis mahasiswa yang tidak lagi memperjuangkan idealismenya karena terlanjur candu akan kemapanan hidup.

Sudah menjadi rahasia umum bila banyak mantan aktivis mahasiswa yang dulunya begitu idealis dalam politik namun ketika menjadi pejabat ataupun politisi berubah seratus delapan puluh derajat.

Oleh karena itu, sudah seharusnya para aktivis mahasiswa zaman sekarang, khususnya yang akan terjun atau masuk ke dalam gelanggang politik, merenungkan pertanyaan ini: apakah akan konsisten mempertahankan idealisme politiknya dan berusaha mewujudkannya?.

Pertanyaan itu sangat penting. Mengapa?. Pertama, salah satu kontribusi aktivis mahasiswa terhadap bangsa dan negara adalah menawarkan alternatif idealisme. Dan jalan untuk mewujudkannya adalah dengan menjadi politisi atau pejabat.

Hal yang kedua adalah ketika aktivis mahasiswa yang sekarang ini menjadi politisi dan masuk dalam kekuasaan, mereka tidak mengulangi hal yang sama seperti politisi dan penguasa yang mereka kritik hari ini. Ingat, Karl Marx pernah bilang, sejarah akan berulang dengan sendirinya.

Apa yang dikatakan Karl Marx itu benar adanya. Sejarah membuktikan, banyak aktivis 1966 yang menyebut Soekarno diktator, namun mereka sendiri pada akhirnya juga masuk dalam pemerintahan Soeharto yang diktator. 

Beberapa aktivis 1998 menyebut Soeharto otoriter karena membungkam kebebasan sipil. Namun, ketika mereka masuk menjadi bagian pemerintahan Jokowi dan suara kritis terhadap Jokowi dibungkam, mereka diam dan lupa diri.

Pola yang sama dalam waktu yang berbeda terjadi secara berulang. Ini menunjukkan bahwa idealisme yang selama ini digembar- gemborkan oleh aktivis ataupun mantan aktivis mahasiswa cenderung dangkal, tidak autentik dan kontradiktif.

Tanpa bermaksud mengajari atau merendahkan, saya melihat ada 3 persoalan yang menjadi penyebabnya. Pertama, dari pengamatan dan pengalaman saya, banyak rekan- rekan aktivis mahasiswa yang suka demo dan berorasi tetapi malas/sedikit membaca dan jarang diskusi. Padahal buku adalah sumber ide, gagasan atau pikiran. Dan diskusi bisa menjadi medium untuk memurnikan ide, gagasan atau pikiran. 

Bila dua hal itu jarang dilakukan, konsekuensinya adalah pemikiran dangkal dan imajinasi kurang. Dan jangan lupa, para pendiri bangsa ini atau tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia adalah orang- orang yang hobi membaca dan berdiskusi. Dengan cara itu, mereka mampu menghasilkan pemikiran dan imajinasi tentang Indonesia yang merdeka.

Persoalan kedua, aktivis mahasiswa cenderung tidak autentik. Ketika ada pejabat atau politisi yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, para aktivis mahasiswa sangat reaktif menuntut pejabat atau politisi yang diduga korupsi tersebut diperiksa atau diadili oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Akan tetapi, saat ujian semester atau untuk tugas kuliah saja, masih ada aktivis mahasiswa yang mencontek. Para aktivis mahasiswa suka teriak tentang kemiskinan, tapi hidupnya hedonis dan sering membuang makanan. 

Marah kepada perusahaan yang mencemari lingkungan, namun membuang sampah saja masih sembarangan. Ini berarti hidupnya tidak autentik. Idealismenya bersifat semu.

Kecenderungan aktivis mahasiswa yang ketiga yaitu lebih mengejar reputasi daripada membangun integritas. Tanpa bermaksud menggeneralisasi, ada beberapa aktivis mahasiswa yang ikut organisasi kemahasiswaan agar punya reputasi baik ketika tamat atau mencari pekerjaan. 

Reputasi itu memang penting, tapi tanpa integritas, reputasi yang dibangun bisa rusak dalam sekejap. Reputasi seseorang akan tetap kokoh bila ia memiliki integritas. Bila tidak punya integritas, maka ia akan bersikap kontradiktif. Hari ini bersikap A, besok berubah haluan menjadi B atau C.

Dari ketiga hal diatas, antara memiliki idealisme dan mewujudkannya ada jurang pemisah. Jurang pemisah yang membuat idealisme menjadi semu dan utopis. Untuk menghubungkannya agar idealisme mendekati realitas, idealisme itu perlu ditempa atau diuji. Dan itu mesti dimulai dari hal kecil atau sederhana.  

Adakah (mantan) aktivis mahasiswa yang seperti itu?. Mungkin tidak banyak. Salah satunya adalah Arief Budiman. Arief Budiman adalah sosok yang langka dan contoh teladan yang baik bagi aktivis mahasiswa. Ia adalah sosok yang autentik, berintegritas dan konsisten dengan idealisme.

Saya yakin bila aktivis mahasiswa konsisten memilih autentik, membangun integritas dan hobi membaca, mereka akan teruji ketika menjadi pemimpin dalam berbagai bidang, entah itu menjadi politisi, pejabat atau lainnya. Dan bisa jadi hukum karma, dimana (mantan) aktivis mahasiswa melakukan atau mengalami apa yang dikritiknya tidak terulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun