Inilah tantangannya. Mewujudkan idealisme tidak segampang memiliki idealisme, apalagi bila disatu sisi, juga berhasrat mengejar kemapanan. Karena faktanya, idealisme sangat sulit sejalan dengan kemapanan.Â
Sehingga, tidak mengherankan jika banyak mantan aktivis mahasiswa yang tidak lagi memperjuangkan idealismenya karena terlanjur candu akan kemapanan hidup.
Sudah menjadi rahasia umum bila banyak mantan aktivis mahasiswa yang dulunya begitu idealis dalam politik namun ketika menjadi pejabat ataupun politisi berubah seratus delapan puluh derajat.
Oleh karena itu, sudah seharusnya para aktivis mahasiswa zaman sekarang, khususnya yang akan terjun atau masuk ke dalam gelanggang politik, merenungkan pertanyaan ini: apakah akan konsisten mempertahankan idealisme politiknya dan berusaha mewujudkannya?.
Pertanyaan itu sangat penting. Mengapa?. Pertama, salah satu kontribusi aktivis mahasiswa terhadap bangsa dan negara adalah menawarkan alternatif idealisme. Dan jalan untuk mewujudkannya adalah dengan menjadi politisi atau pejabat.
Hal yang kedua adalah ketika aktivis mahasiswa yang sekarang ini menjadi politisi dan masuk dalam kekuasaan, mereka tidak mengulangi hal yang sama seperti politisi dan penguasa yang mereka kritik hari ini. Ingat, Karl Marx pernah bilang, sejarah akan berulang dengan sendirinya.
Apa yang dikatakan Karl Marx itu benar adanya. Sejarah membuktikan, banyak aktivis 1966 yang menyebut Soekarno diktator, namun mereka sendiri pada akhirnya juga masuk dalam pemerintahan Soeharto yang diktator.Â
Beberapa aktivis 1998 menyebut Soeharto otoriter karena membungkam kebebasan sipil. Namun, ketika mereka masuk menjadi bagian pemerintahan Jokowi dan suara kritis terhadap Jokowi dibungkam, mereka diam dan lupa diri.
Pola yang sama dalam waktu yang berbeda terjadi secara berulang. Ini menunjukkan bahwa idealisme yang selama ini digembar- gemborkan oleh aktivis ataupun mantan aktivis mahasiswa cenderung dangkal, tidak autentik dan kontradiktif.
Tanpa bermaksud mengajari atau merendahkan, saya melihat ada 3 persoalan yang menjadi penyebabnya. Pertama, dari pengamatan dan pengalaman saya, banyak rekan- rekan aktivis mahasiswa yang suka demo dan berorasi tetapi malas/sedikit membaca dan jarang diskusi. Padahal buku adalah sumber ide, gagasan atau pikiran. Dan diskusi bisa menjadi medium untuk memurnikan ide, gagasan atau pikiran.Â
Bila dua hal itu jarang dilakukan, konsekuensinya adalah pemikiran dangkal dan imajinasi kurang. Dan jangan lupa, para pendiri bangsa ini atau tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia adalah orang- orang yang hobi membaca dan berdiskusi. Dengan cara itu, mereka mampu menghasilkan pemikiran dan imajinasi tentang Indonesia yang merdeka.