Tetap dilaksanakannya pemilihan kepala daerah (Pilkada) dengan embel- embel tetap menerapkan protokol kesehatan, menunjukkan bahwa politik hanya untuk kekuasaan. Tujuan luhur dari politik hanya sebagai etalase dan tagline. Bagi mereka, kekuasaan adalah segalanya.
Mereka membutuhkan suara rakyat pada Pilkada yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020, tetapi menutup telinga terhadap suara aspirasi rakyat. Mengatasnamakan hak konstitusi rakyat agar Pilkada tetap digelar, padahal hak rakyat untuk mendapatkan rasa aman dan kesehatan yang menjadi kewajiban negara belum dipenuhi seutuhnya.
Keculasan para pemimpin memperlihatkan betapa besarnya birahi untuk berkuasa. Mereka menggunakan politik bahasa untuk memperdaya rakyat. Mereka memainkan data jumlah kematian orang setelah terinfeksi Covid-19.Â
Perbedaan data kematian Covid-19 antara Kementerian Kesehatan dan Lapor Covid-19 sangat besar. Para pemimpin negeri ini selalu mengatakan bahwa pemerintah konsisten dan fokus pada kesehatan agar ekonomi kembali membaik, namun menunda Pilkada saja tidak mau.
Kebijakan pembatasan sosial seperti PSBB atau apapun namanya, dijalankan dengan setengah hati. Para pemimpin meminta kita untuk tetap di rumah, namun negara tidak mau menanggung biaya hidup rakyat yang terdampak pandemi.Â
Pemerintah dan DPR benar-benar tidak punya niat dan keseriusan sama sekali untuk mengendalikan pandemi. Hal ini semakin terlihat dari menurunnya jumlah anggaran kesehatan untuk tahun 2021.Â
Dari 212,5 triliun rupiah tahun ini menjadi hanya 169,7 triliun rupiah. Katanya fokus pada kesehatan, tapi anggaran yang dinaikkan bukan pos kesehatan tetapi malah infrastruktur.
Para pemimpin yakin protokol kesehatan akan dijalankan. Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) RI justru menemukan banyak pelanggaran.Â
Pada hari kedua kampanye, Bawaslu RI menemukan ada sepuluh kampanye pasangan calon Pilkada yang tidak menerapkan protokol kesehatan, termasuk kampanye menantu Jokowi di Medan.Â
Jangan heran bila angka positif Covid-19 akan semakin meningkat selama Pilkada 2020. Dan jangan kaget juga bila nantinya rakyat yang akan menjadi kambing hitam bila Pilakda 2020 menjadi klaster penyebaran virus.