Itu yang seharusnya dilakukan, bukan malah menjadi corong, tameng dan bamper penguasa dari suara- suara kritis orang lain kepada penguasa. Mendewakan penguasa sebaik apapun citranya sangat tidak patut dilakukan oleh orang- orang sekelas rohaniwan, tokoh agama ataupun lembaga kerohanian.
Inilah yang terjadi dimasa sekarang. Suara kenabian yang mencerahkan sulit ditemukan di Indonesia. Suara- suara yang sering kita dengar dari rohaniwan dan lembaga kerohanian saat ini adalah suara- suara yang penuh kebencian, kemunafikan dan tipu daya.
Selain ada yang dekat dengan kekuasaan, ada juga tokoh agama dan organisasi keagamaan yang menjaga jarak dengan sikap yang berlebihan. Mereka menghasut orang lain untuk membenci penguasa. Seolah- olah penguasa selalu salah, tidak ada benarnya. Mereka mengadu domba dan memecah belah sesamanya dengan memanipulasi ayat kitab suci. Orang yang berbeda dengan kelompoknya dicap kafir. Mereka melakukannya karena tokoh politik pilihannya tidak berkuasa dan dalam rangka mengganti sistem republik.
Kelompok rohaniwan dan lembaga kerohanian yang terakhir disebutkan sama bahayanya dengan rohaniwan dan lembaga kerohanian yang fanatik terhadap penguasa. Mendukung penguasa boleh tetapi jangan bersikap fanatik. Fanatisme buta hanya akan membuat mata hati bungkam terhadap penguasa yang keliru dan mementingkan dirinya sendiri. Ini persis seperti yang dikatakan Karl Marx, agama tak ubahnya seperti candu.
 Kita patut bertanya, mengapa suara kenabian dimasa sekarang hampir tidak ada?. Bila kita merenungkannya, barangkali suara kenabian dari rohaniwan hilang karena hidup dalam kemunafikan. Mengetahui tentang kebenaran dan keTuhanan, tetapi hidupnya jauh dari itu. Tidak menjadi teladan bagaimana seharusnya berTuhan. Atau sebaliknya, selama ini sebenarnya kita salah dalam memahami dan menerapkan nilai- nilai dan prinsip berTuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H