Politik dan agama punya sejarah yang sulit untuk dipisahkan. Peristiwa sejarah yang melibatkan politik dan agama berulang kali terjadi dengan pola dan tujuan yang identik. Mereka yang terlibat dalam politik praktis pasti paham bahwa berpolitik adalah untuk berkuasa. Beberapa dari antara mereka menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan politiknya. Dan agama merupakan alat yang sering digunakan dalam politik praktis.
Ketika masa perjuangan kemerdekaan peran rohaniwan atau tokoh agama tidak bisa dianggap sepele. Di masa itu hampir semua elemen masyarakat, termasuk tokoh agama, memiliki kesamaan nasib, yaitu dijajah bangsa kolonial. Semua berjuang demi kemerdekaan. Namun, dalam perjalanannya sampai sekarang, terjadi degradasi esensi dan pergeseran nilai. Munculnya sentimen agama untuk meraih suara dalam pemilihan sudah menjadi warna tersendiri di masa sekarang.
Politik dan agama memang tidak dapat dipisahkan. Sebaliknya, politik dan agama akan berguna bila sesuai koridor dan fungsinya dalam berbangsa dan bernegara. Tetapi, dalam prakteknya tidaklah demikian. Politisi yang hanya ingin berkuasa dengan cara yang tidak beradab dan etis disambut dengan pemuka agama yang opurtunis. Sejarah mencatat, setiap politisi dan pemuka agama yang bekerja sama demi keuntungan pribadi hanya akan menimbulkan kekacauan.
 Tokoh agama atau rohaniwan termasuk kelompok orang yang sangat dihormati di Indonesia. Mereka umumnya memiliki pengaruh yang sangat besar dan diikuti oleh banyak kalangan. Di Indonesia sendiri, saat sedang sakit atau mengalami masalah, beberapa diantara kita cenderung akan mencari rohaniwan atau tokoh agama. Seakan- akan tokoh agama mampu menyelesaikan semua persoalan hidup yang kita alami.
Setiap musim pemilihan, para calon wakil rakyat ataupun calon presiden akan rutin sowan ke pemuka agama untuk sekedar basa- basi dan meminta doa restu. Mereka paham betul manfaat yang akan didapatkan bila tokoh agama yang mereka kunjungi memberikan dukungan.
Apapun yang diucapkan oleh tokoh agama sudah menjadi fatwa bagi pengikutnya. Bila tokoh agama secara langsung mendukung calon presiden A maka kemungkinan besar pengikutnya akan mendukung si A tersebut. Dukungan tokoh agama itu juga yang dijadikan dalil dan fatwa untuk mempengaruhi orang lain.
Saat itu terjadi kemungkinan yang akan terjadi adalah kekacauan. Ini bisa terjadi karena orang Indonesia belum dewasa dalam berpolitik. Bersatunya tokoh agama dengan warna politik tertentu akan menyulitkan tokoh agama bersikap objektif dan jernih dalam menilai kinerja dan sosok politisi dan partai yang didukungnya.
Tokoh agama akan gamang dan memilih bersikap abu- abu dalam sepak terjang politisi dan partai politik yang didukungnya. Bisa jadi, sikap abu- abu dipilih karena sudah mendapatkan sesuatu dari kesepakatan yang ada. Kemungkinan lainnya adalah bisa jadi sang tokoh agama sedang berhalusinasi karena mengkultuskan seseorang yang dianggap akan membawa perubahan.
Tentu saja tidak semua tokoh agama bersikap demikian. Yang membedakannya dibandingkan tokoh agama yang mendukung adalah integritas. Hanya tokoh agama yang menjaga jarak dari kekuasaan yang bisa tetap jernih dan mencerahkan. Tidak peduli siapapun yang berkuasa, integritas sang rohaniwan akan tetap terjaga selama tidak ikut- ikutan dalam politik praktis.
Peran tokoh agama atau rohaniwan dalam politik yang amburadul seperti sekarang ini sangat diperlukan untuk memperbaiki, bukan malah membuat warna politik semakin kotor. Suara kenabian dari rohaniwan sangat dibutuhkan sebagai pencerahan dalam karut marut politik dan kekuasaan.
Tokoh agama dan tempat- tempat ibadah harus netral. Begitu juga dengan lembaga ataupun organisasi yang bergerak dalam bidang kerohanian. Hal ini untuk mencegah terjadinya polarisasi dan politisasi agama. Para rohaniwan maupun organisasi kerohanian/keagamaan harus kritis terhadap penguasa yang belum menjalankan tugas dan fungsinya untuk mewujudkan keadilan sosial.